Pemerintah berupaya mengatasi perubahan iklim. Salah satunya dengan mempercepat transisi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan atau energi hijau. Namun ada banyak hal yang harus dipersiapkan pemerintah dalam transisi energi, salah satunya terkait nasib pekerja di industri batu bara serta minyak dan gas bumi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai transisi menuju net zero emission atau nol emisi karbon perlu direncanakan secara matang, terutama terkait nasib pekerja industri bahan bakar fosil yang akan kehilangan pekerjaannya pascatransisi.
Berdasarkan perhitungan IESR dekarbonisasi sektor energi, dengan transisi 100% ke energi terbarukan pada 2050 akan menyebabkan hilangnya 106 ribu pekerjaan. Meski demikian transisi tersebut berpotensi membuka lapangan kerja baru hingga 3,2 juta.
"Ini yang perlu disiapkan, transisi orang yang bakal kehilangan pekerjaan dari sisi fossil fuel harus direncanakan secara matang," kata Fabby dalam diskusi Launching Virtual dan Bedah Buku “Jejak dan Langkah Energi Terbarukan Indonesia” secara virtual, Selasa (27/4).
Tak hanya itu, ketika Indonesia meninggalkan batu bara, maka implikasi terhadap daerah penghasil batu bara dan penerimaan negara perlu dipersiapkan. Namun Fabby menegaskan bahwa energi seharusnya tidak lagi dipandang sebagai komoditas belaka, melainkan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.
Menurut Fabby peningkatan akses energi telah menjadi target pemerintah. Oleh sebab itu ia optimistis akses energi di Indonesia akan lebih baik dan merata pada 2025.
Setelah itu, hal yang harus dilakukan yakni memenuhi kebutuhan energi rakyat Indonesia yang akan tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Kebutuhan kapasitas sudah dihitung dan untuk bisa mewujudkan itu diperlukan dukungan kebijakan, regulasi serta insentif dari pemerintah.
"Semua ini perlu direncanakan dan menjadi topik kajian DPR, Bappenas, dan DEN. Sehingga kita bisa melakukan energy transition ready national development plan," ujarnya.
Dekarbonisasi sektor energi juga akan membuka peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi bagi Indonesia. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Suharso Monoarfa menilai ekonomi hijau sebagai penyelamat Indonesia dari jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap.
Pasalnya Bappenas telah memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi RI tidak akan kembali seperti sebelum pandemi Covid-19. Ini akan membuat Indonesia sulit keluar dari middle income trap. Oleh karena itu dibutuhkan transformasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
"Salah satunya dengan menempatkan ekonomi hijau sebagai salah satu tujuan utama. Untuk dapat menyelamatkan Indonesia dari middle income trap 2045," ujar Suharso.
Ekonomi hijau berwawasan lingkungan juga dapat berpengaruh untuk mengantisipasi ancaman dari dampak perubahan iklim. Sehingga penting mendorong tercapainya target net zero emission Indonesia.