Ditarget Rampung Desember, Aturan RUU EBT Masih Berpotensi Bebani PLN

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Teknisi melakukan perawatan instalasi panel listrik tenaga surya di Hotel Wujil, Ungaran, Jawa Tengah, Rabu (30/10/2016)
13/8/2021, 19.01 WIB

Menurut Prof. Mukhtasor pemerintah bisa mengedukasi masyarakat untuk menggunakan panel surya, namun tidak bisa mengedukasi dirinya sendiri dalam mengelola negara.

Beberapa pihak lainnya sebelumnya juga menilai sejumlah klausul dalam RUU EBT yang saat ini tengah digodok DPR tidak adil bagi PLN. Salah satunya adalah aturan yang mirip mekanisme "take or pay".

Mekanisme ini sudah berlaku dalam penyediaan listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) oleh produsen listrik swasta (independent power producer/IPP). Mekanisme take or pay mewajibkan PLN menyerap listrik dari pembangkit IPP dengan minimal yang tertera dalam perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA).

Ini artinya, jika PLN tidak dapat menyerap listrik dari IPP, maka akan terkena denda. Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan bahwa skema take or pay menimpakan risiko usaha kelistrikan kepada negara.

Dalam mekanisme itu, negara melalui PLN harus membayar penyedia listrik swasta sesuai kontrak meski dayanya tidak terpakai. “Investor itu menjadi seolah-olah tidak ikut menanggung potensi kerugian. Padahal dalam bisnis ada untung ada rugi,” kata dia.

Menurutnya mekanisme take or pay memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN harus menanggung risiko kerugian. Oleh karena itu, mekanisme tersebut tidak bisa diterima.

Dia menyayangkan mekanisme tersebut sudah berjalan. Adapun dalam RUU EBT yang tengah dibahas di DPR, kata Marwan, mekanisme serupa juga akan diterapkan. PLN wajib membeli berapapun daya yang disediakan IPP EBT swasta.

"Kewajiban itu tidak memandang apakah PLN butuh atau tidak. Padahal saat ini PLN sedang kelebihan daya," kata dia. "Dampak berat take or pay paling terasa sejak 2019. Konsumsi listrik turun, sementara biaya yang harus dibayar tetap. Pandemi membuat konsumsi turun. Sekarang cadangan daya sudah di atas 35% dari idealnya 30%."

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan