Target penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi sebesar 13,2% yang dipatok pemerintah di 2024 diperkirakan sulit dicapai.

Program Director Coaction Indonesia Verena Puspawardani mengatakan target 13,2% itu setara dengan 142 juta ton karbon. Padahal, jika mengacu pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang dirilis oleh PT Perusahaan Listrik Negara, target penurunan emisi di sektor pembangkit listrik hanya 100 juta ton di 2030.

“Jadi memang ada gap yang harus dikejar,” ujarnya, dalam diskusi Katadata Road to COP 26, Jumat (22/10).

Verena menjelaskan secara keseluruhan pemerintah menargetkan dapat mengurangi 834 juta ton emisi karbon di 2030, dengan kontribusi 314 juta ton dari sektor energi. Dengan demikian, upaya penurunan emisi ini tidak bisa hanya mengandalkan dari sektor kelistrikan tetapi juga dari sektor transportasi dan industri. 

Verena melanjutkan di sektor energi pembangkit listrik menyumbang 35% emisi, transportasi 27%, industri 27%, dan sisanya sektor lainnya. Jika pemerintah serius ingin menurunkan emisi, kontribusi di sub sektor energi ini juga harus dikejar. 

Di sektor kelistrikan, emisi bisa diturunkan dengan mengupayakan energi terbarukan dan mengganti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang bergantung pada batu bara. Adapun di sektor transportasi, pemerintah harus mulai memikirkan solusi skala besar untuk beralih ke kendaraan rendah karbon baik untuk transportasi publik maupun pribadi. Di sisi lain, sektor industri juga harus melakukan efisiensi energi dan mencari alternatif energi ramah lingkungan. 

Di sektor kelistrikan, bauran EBT saat ini masih belum memuaskan. Pemerintah menargetkan bauran 23% EBT di 2025. Namun, realisasinya hingga kuartal III 2021 baru 10,9%. Menurut Verena, dengan pertumbuhan energi terbarukan 4%-5% per tahun, pemerintah memerlukan strategi khusus demi mempercepat akselerasi bauran EBT. 

Verena menjelaskan ada lima terobosan yang bisa diterapkan pemerintah untuk mengejar target bauran EBT. Pertama di sektor regulasi, EBT harus menjadi pilihan pertama dan satu-satunya. Sejumlah regulasi seperti subsidi EBT dan kebijakan penetapan harga jual harus diperhatikan. “Saat ini harga jual masih terlalu mahal,” ujarnya.

Upaya lain adalah integrasi peta jalan (road map) energi nasional. Verena menjelaskan pemerintah harus memperhatikan kontribusi di sektor lain seperti limbah dan biomassa yang bisa digunakan sebagai energi. 

Terobosan lain adalah upaya pendanaan untuk mendorong iklim investasi yang kondusif. Ia Verena melihat EBT memiliki peluang investasi menggiurkan jika dibarengi dengan berbagai insentif.

Faktor teknologi dan sumber daya manusia juga penting diperhatikan. Salah satunya adalah teknologi penyimpanan yang andal dan ekonomis di sepanjang rantai pasokan energi. 

Secara terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan realisasi bauran energi hingga kuartal III 2021 mencapai 10,9% atau turun dari sebelumnya 11,2% di 2020. 

"Ada kenaikan dari sisi pembangkit listrik basis fosil, bukan karena EBT berkurang," kata Dadan dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja Triwulan III 2021 dan Isu-Isu Terkini Subsektor EBTKE, Jumat (22/10).

Adapun dalam kurun waktu lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 1469 megawatt (MW) dengan kenaikan rata-rata 4% per tahun. Sedangkan tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT dari Januari hingga September 2021 realisasinya telah mencapai 386 MW. 

"Target tahun ini 855 MW. Akan ada pembangkit di akhir tahun ini 11,3 GW basis EBT," ujarnya.

Reporter: Rezza Aji Pratama