Kementerian ESDM mulai serius mengembangkan pemanfaatan minyak goreng bekas atau minyak jelantah (used cooking oil/UCO) menjadi biodiesel.
Direktorat Bionergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo, mengatakan pemanfaatan biodiesel dari UCO di tanah air terbuka lebar karena konsumsi minyak goreng rumah tangga di tahun 2019 tercatat 13 juta ton per tahun atau setara dengan 16,2 juta kilo liter (KL), dengan potensi minyak jelantah sebesar 3 juta KL per tahun.
“Jika dikelola dengan baik, dapat memenuhi 32% dari kebutuhan biodiesel nasional,” kata Edi dalam Katadata IDE 2022, kamis (7/4).
Edi menambahkan, biodiesel yang dihasilkan dari UCO memiliki peluang untuk dipasarkan baik di dalam negeri maupun ekspor. Menurutnya, pemanfaatan biodiesel dari UCO dapat menghemat biaya produksi hingga 35% dibandingkan dengan biodiesel berbasis CPO.
Adapun pemanfaatan UCO tidak terbatas untuk biodiesel semata, ia bisa digunakan sebagai bahan campuran bioethanol, bioantur, dan Biofuel yang terhidrogenasi (HVO). “Selain itu, juga mengurangi 91,7% emisi CO2 dibandingkan dengan solar,” sambung Edi.
Di sisi lain, ada sejumlah tantangan yang muncul dalam upaya pengembangan UCO untuk bahan bakar nabati, di antaranya fluktuasi harga minyak jelantah yang relatif tinggi hingga Rp 6.000 per liter, mekanisme pengumpulan dari rantai pasok yang belum terbentuk, terutama yang melibatkan komunitas masyarakat dan pemetaan potensi.
“Harus masifkan sosialisasi terkait bahaya penggunaan minyak jelantah untuk memasak dan promosi pemanfaatan minyak jelantah untuk energi,” ujar Edi.
Manager Riset Traction Energy Asia, Fariz Panghedar, menjelaskan total potensi UCO dari rumah tangga dan unit usaha mikro di kota-kota besar seperti Pulau Jawa dan Bali mencapai 207.170,65 KL per tahun. Sementara total potensi UCO dari rumah tangga dan unit usaha mikro di level nasional sebesar 1.243.307,7 KL per tahun.
“Total potensi ini hanya di rumah tangga dan unit usaha mikro, apabila diluaskan ke unit skala kecil, sedang dan menengah di sektor makanan, termasuk juga sektor hotel dan restoran serta kafe maka jumlahnya akan 3 juta KL per tahun. Itu yang bisa dimanfaatkan sebagai BBN,” jelasnya.
Ia melanjutkan, saat ini sebagian besar permintaan bahan bakar nabati biodiesel berasal dari sektor maritim. Oleh karenanya, Fariz mengusulkan agar memfungsikan sejumlah tempat seperti pelabuhan dan perumahan warga di kota-kota besar dan padat penduduk seperti Pulau Jawa dan Sumatera sebagai sentra pengumpulan minyak jelantah
“Kemudian itu bisa disitrubusikan lebih dulu ke kilang-kilang dan didistribusikan di lokasi yang sama dengan lokasi pengepulan. Ini bisa digunakan sebagai bahan bakar di mesin-mesin yang kecepatannya rendah seperti genser, forlift, dan boiler,” ujar Fariz.
Adapun distribusi dari hasil tersebut dapat disalurkan ke Kawasan industry di Pulau Jawa dan Sumatera yang memiliki potensi industri yang besar. Selain itu, karena permintaan biodiesel mayoritas berada di sektor maritim, bahan bakar nabati tersebut dapat disalurkan ke beberapa wilayah persisir.
“Untuk kegiatan pelayaran dan perikanan di daerah Kendal, Semarang, Surabaya bisa menyediakan sektor perikanan dan industri,” tukas Fariz.