Harga Listrik dari Pembangkit EBT Makin Murah, PLTA Cuma 4,1 Sen/kWh

PLN
PLN telah rampungkan pembangunan PLTA Poso tahap 2 berkapasitas 200 MW, yang menjadikan sistem kelistrikan Sulawesi Bagian Selatan memiliki bauran EBT tertinggi di Indonesia sebesar 40%.
24/3/2023, 21.04 WIB

Laporan terbaru Institute for Essential Service Reform (IESR) menunjukkan harga pembangkit energi terbarukan semakin murah dan kompetitif. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) misalnya, memiliki harga rata-rata paling rendah yakni 4,1 sen/kWh.

Peneliti IESR His Muhamad Bintang mengatakan PLTMH dan PLTS memiliki harga rata-rata sekitar 4,9 sen/kWd dan 5,8 sen per kWh. Namun penghitungan ini belum memasukkan biaya penggunaan lahan dan biaya persiapan proyek.

“Ada kemungkinan peningkatan harga rata-rata setidaknya 6% untuk PLTA skala menengah, dan 18% untuk PLTS skala utilitas,” katanya, Jumat (24/3).

Bintang mengatakan saat ini iklim investasi pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan memang belum kondusif. Salah satunya dipicu oleh sejumlah regulasi yang meningkatkan biaya tinggi. Ini misalnya untuk pengembangan PLTS skala utilitas, ada aturan TKDN yang mengharuskan penggunaan komponen dalam negeri. Padahal, harga produknya masih lebih mahal dan kalah dari segi kualitas dari komponen impor. 

Meskipun demikian, tren penurunan harga teknologi diperkirakan membuat pembangkit energi terbarukan lebih kompetitif dalam waktu dekat. Proyeksi harga rata-rata PLTS skala utilitas pada 2050 akan mencapai 3 sen/kWh atau lebih rendah, jauh lebih murah dibandingkan biaya operasi PLTU batubara eksisting.

Bintang mengatakan selama ini pembangkit energi terbarukan ini dianaktirikan dengan PLTU batubara. Terdapat pandangan bahwa batubara merupakan sumber energi paling murah. Padahal yang sebenarnya terjadi, listrik PLTU batubara murah karena ditopang oleh kebijakan DMO dan subsidi-subsidi lainnya mulai 2018. 

“Energi terbarukan tidak mendapatkan dukungan, malah harganya selalu diminta bersaing dengan listrik PLTU dan PLTG yang mendapatkan subsidi negara,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Sementara itu, saat ini pemerintah berencana mengaplikasikan teknologi carbon capture storage (CCS) pada PLTU batubara untuk mengurangi emisi. Namun, menurut Manager Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo, hal tersebut justru akan meningkatkan harga listrik PLTU batu bara. 

Deon mengatakan saat ini belum ada implementasi CCS ke PLTU batubara yang sukses mencapai target pengurangan emisnya. Selain itu, dengan CCS harga listrik dari PLTU batu bara akan meningkat dua kali lipat atau lebih besar dari 10 sen/kWh. 

“Inisiatif untuk menggunakan CCS pada PLTU batubara seharusnya tidak menjadi pilihan lagi,” kata Deon. 

IESR meluncurkan laporan bertajuk ‘Making Energy Transition Succeed: A 2023’s Update on The Levelized Cost of Electricity and Levelized Cost of Storage in Indonesia’. Selain itu, IESR juga memperkenalkan perangkat simulasi berbasis web yang dapat diakses oleh masyarakat untuk memperkirakan biaya pembangkitan energi untuk setiap teknologi pembangkitan dan penyimpanan energi. 

Reporter: Rezza Aji Pratama