PLN mengusulkan penerapan skema kewajiban penjualan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) dalam penyaluran biomassa sebagai campuran atau co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Usulan ini mendapat tanggapan negatif baik dari pihak pemerintah maupun pakar energi. Kewajiban DMO pada penyediaan biomassa untuk pembangkit listrik dinilai tidak mendesak untuk diterapkan karena berpotensi meningkatkan laju deforestasi dan menaikkan emisi gas rumah kaca.
“Kementerian ESDM mendorong co-firing dengan prinsip keekonomian dan keberlanjutan, namun kami belum melihat bahwa DMO diperlukan untuk saat ini,” kata Dadan lewat pesan singkat pada Senin (22/5).
Proposal PLN yang mengusulkan untuk menerapkan DMO pada pengadaan biomassa PLTU berawal dari keresahan perseroan yang mengalami defisit bahan baku biomassa karena mayoritas produsen domestik lebih memilih menjual hasil produk mereka ke pasar ekspor karena harga yang lebih tinggi.
Mekanisme penetapan DMO pada co-firing PLTU ini meniru ketentuan yang lebih dulu diterapkan kepada pengadaan batu bara untuk PLTU PLN dan industri.
Lewat instrumen Keputusan Menteri ESDM Nomor 139 Tahun 2021, pemerintah mewajibkan pelaku usaha batu bara domestik untuk memenuhi kuota penjualan dalam negeri sebanyak 25% dari produksi tahunan untuk kelistrikan umum dan industri.
Lewat mekanisme DMO, perseroan berharap bisa memperoleh jaminan penyediaan biomassa di sektor hulu, hingga pengaturan PLN sebagai pembeli atas seluruh bahan baku atau offtaker di sisi hilir.
Adapun Kementerian ESDM sedang menyusun rancangan Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pemanfaatan Biomassa Sebagai Campuran Bahan Bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap.
“Memang saat ini sedang difinalkan rancangan Permen ESDM memberikan insentif berupa perlakuan biomassa yang lebih baik dari yang berjalan selama ini,” ujar Dadan.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Fiorentina Refani, menyampaikan bahwa kebijakan DMO pada pengadaan biomassa untuk co-firing PLTU dapat menimbulkan perluasan deforestasi.
Selain itu, penggunaan co-firing yang berkepanjangan dinilai melanggengkan pengeluaran emisi gas rumah kaca dari sektor pembangkit listrik. “Kami melihat bahwa implementasi DMO pada co-firing ini tidak terlalu mendesak untuk diterapkan,” kata Fio saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Senin (22/5).
Fio menambahkan, praktik pengadaan biomassa untuk co-firing PLTU malah memicu dampak negatif yang lebih besar dan berkepanjangan. Dia menjelaskan, emisi yang dihasilkan dari praktif pembakaran biomassa sama besar dengan hasil emisi pembakaran batu bara.
Selain itu, emisi yang timbul dari deforestasi, penggunaan gergaji mesin dan pembuatan pelet kayu juga berkontribusi pada produksi emisi karbon.
Ketimbang memperbesar investasi pada pengadaan biomassa, Fio mengusulkan agar PLN memperbesar alokasi pendanaan terhadap pembangunan pembangkit listrik dari energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya dan pembangkit listrik angin secara bertahap.
“Invetasi perlu diperbanyak ke pembangkit energi terbarukan, bukan memperbanyak biomassa untuk co-firing. Upaya meningkatkan bauran energi bersih di PLN bukan lewat co-firing,” ujarnya.
Sebelumnya, PLN meminta adanya regulasi khusus berupa pengenaan kewajiban penjualan dalam negeri atau DMO untuk penyaluran biomassa sebagai campuran atau co-firing PLTU milik PLN.
Sekretaris Perusahaan PLN Energi Primer Indonesia (EPI) Mamit Setiawan menjelaskan saat ini biomassa untuk pembangkit listrik dibatasi dengan harga patokan tertinggi atau HPT. Saat ini HPT batu bara untuk PLN senilai US$ 70 per ton dengan nilai kalori 6.300 kcal per kilogram (kg).
Angka tersebut dapat berubah tipis seiring tingkat kandungan kalori biomassa yang disetarakan dengan kandungan kalori batu bara. Adapun, batas atas harga batu bara kalori rendah 4.300 sampai 4.600 kcal per kilogram dipatok US$ 51 per ton.
"Karena harga pasar ekspor jauh lebih bagus dari pada harga dalam negeri, dengan dukungan serapan dalam negeri, tidak harus 25%, diharapkan bisa menutupi target co-firing PLN," mamit saat menjadi pembicara di Media Gathering Kementerian ESDM di Courtyard Marriott Bandung pada Sabtu (20/5).
Mamit menjelaskan, pengenaan DMO pada suplai co-firing PLTU dapat berkontribusi pada penurunan konsumsi batu bara di PLTU PLN. Adapun serapan konsumsi biomassa untuk co-firing PLTU berada di angka 220.000 ton sepanjang kuartal I 2023.
Jumlah itu setara 20% dari kebutuhan biomassa untuk 34 PLTU batu bara sebanyak 1,08 juta ton pada tahun ini. "Tanpa ada dukungan dari pemerintah, maka cukup besar effort PLN," ujar Mamit.
Penggunaan biomassa sebagai campuran bahan bakar PLTU batu bara dinilai belum optimal seiring ketersediaan bahan baku yang terbatas. Pasokan biomassa sejauh ini umumnya masih berasal dari produk sampingan. Padahal, bahan baku biomassa idealnya berasal dari hasil hutan utama seperti pohon Kaliandra, Gamal, dan Jati Putih.
Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), Milton Pakpahan, mengatakan harga ekspor biomassa yang berlaku di pasar internasional menyentuh US$ 110-120 per ton.
Harga ini di luar pajak dan iuran yang akan menjadi pendapatan negara US$ 20 per ton. Milton menjelaskan, komoditas biomassa berupa cangkang sawit untuk co-firing dengan nilai kalori setara batu bara 3.000-4.000 kcal per kg berada di level Rp 500-1.000 per kg.
Regulasi penjualan biomassa untuk pasar domestik co-firing PLTU PLN belum ada. “Perbandingan harga ekspor dan co-firing bisa dua berbanding satu. Ini menjawab mengapa pemilik biomassa memilih ekspor," kata Milton lewat pesan singkat pada Jumat (5/5).