Komitmen PLN Mendukung Transisi Energi di Tanah Air

Katadata
Dari kanan ke kiri: peneliti dari IIASA Ping Yowargana, EVP Energy Transition and Sustainability PLN Kamia Handayani, serta Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin menjadi narasumber diskusi panel pada acara SAFE 2023 di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Penulis: Shabrina Paramacitra - Tim Publikasi Katadata
26/9/2023, 20.42 WIB

Tahun lalu, komitmen pendanaan Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) diberikan untuk Indonesia dengan nilai total US$20 miliar. Jumlah pendanaan yang setara dengan Rp310 triliun itu merupakan salah satu strategi untuk mencapai target Perjanjian Paris tentang kenaikan suhu global yang tak lebih dari 1,5o celsius.

Sektor energi turut berperan penting dalam mewujudkan target ini. Upaya dekarbonisasi pada sektor ketenagalistrikan pun menjadi salah satu fokus dunia global. Perusahaan-perusahaan yang banyak memanfaatkan batu bara seperti PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) lantas berusaha lebih banyak memanfaatkan energi ramah lingkungan. 

Hal ini sudah dilakukan PLN, bahkan sebelum Indonesia dinyatakan menerima pembiayaan dari JETP. 

Dalam diskusi panel bertajuk “Enhancing Energy Transition in the Power Sector” pada Selasa (26/9), Executive Vice President Energy Transition and Sustainability PLN Kamia Handayani menegaskan kembali bahwa pada 2021 PLN telah berkomitmen mendukung target Emisi Nol Bersih pada 2060. 

“Jadi masa itu (PLN) termasuk satu dari enam utilitas di Asia Pasifik yang pertama kali menyatakan komitmen tersebut. Jadi sebenarnya tanpa ada JETP pun kita sudah memiliki ambisi ke sana,” ujarnya di acara Katadata Sustainability Action for Future Economy (SAFE) 2023 Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Selasa (26/9). 

Kamia menjelaskan bahwa PLN memiliki rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang lebih mengutamakan energi terbarukan dibanding energi fosil. Itu adalah RUPTL pertama sepanjang sejarah Indonesia yang memfokuskan diri pada energi hijau.

RUPTL tersebut merencanakan sebanyak 20,9 gigawatt atau 52 persen kapasitas pembangkit listrik yang dibangun tahun 2021-2030 berasal dari energi terbarukan. 

Pada sisi lain, JETP menargetkan emisi pada tahun 2030 tidak lebih dari 290 metrik ton CO2. Pemensiunan dini pembangkit berbasis batu bara pun tak terelakkan. 

Kamia memaparkan, sebagai negara yang sedang bertumbuh, pemakaian listrik per kapita di Indonesia hanya 1,3 megawatt jam (MWh) per tahun. Angka itu lebih rendah dibanding rata-rata pemakaian listrik per kapita global yang mencapai 3,3 MWh per tahun. 

Kebutuhan listrik pun diprediksi terus meningkat, sementara pada saat yang sama transisi energi harus dilalui secara bertahap. “Dalam proses bertahap itu tentu masih ada pembangkit fosil yang masih menyala,” ujar Kamia. 

Pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan perluasan pemanfaatan energi dilakukan dengan penuh persiapan oleh PLN. Salah satunya, menyiapkan divisi khusus yang menangani proses transisi energi dan bekerja intensif menangani pekerjaan terkait pendanaan. 

Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin yang juga menjadi narasumber diskusi panel mengungkapkan, pihaknya bakal segera menyelesaikan proses kurasi proyek-proyek yang akan didanai JETP. 

Proyek-proyek tersebut akan tergabung dalam dokumen rencana kebijakan dan investasi komprehensif atau comprehensive investment and policy plan (CIPP). Akan ada lima kategori proyek dalam dokumen tersebut, di antaranya pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan dan pengurangan pembangkit listrik tenaga fosil. 

Sementara itu, peneliti dari International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) Ping Yowargana menyatakan negara-negara maju telah menikmati kemajuan berkat kegiatan pembangunan yang padat karbon. Untuk itu, kebutuhan pendanaan juga seharusnya menjadi tanggung jawab negara-negara maju, bukan hanya Indonesia. 

SAFE adalah forum tahunan yang diselenggarakan oleh Katadata sejak tahun 2020. Acara ini menjadi wadah pembahasan solusi pembangunan ekonomi berkelanjutan. 

Menghadirkan lebih dari 40 pembicara ahli dan profesional, serta target 1.000 peserta dari kalangan profesional, praktisi, dan peminat pembangunan dan bisnis berkelanjutan, SAFE 2023 menyatukan semua pemangku kepentingan. 

Acara yang diselenggarakan di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, ini dihadiri oleh narasumber dari kalangan pemerintah, perusahaan, akademisi, serta organisasi masyarakat sipil. SAFE 2023 menjadi momentum yang mengeksplorasi tindakan nyata menuju ekonomi berkelanjutan di Indonesia.

SAFE Forum 2023 akan menghadirkan lebih dari 40 pembicara yang akan mengisi 15 lebih sesi dengan berbagai macam topik. Mengangkat tema "Let's Take Action", #KatadataSAFE2023 menjadi platform untuk memfasilitasi tindakan kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan yang disatukan oleh misi menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih hijau. Informasi selengkapnya di sini.