Celios Ungkap Cara Agar Bursa Karbon Tak Jadi Praktik Greenwashing
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi meluncurkan Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) pada Selasa (26/9). Terkait hal ini, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, bursa karbon tidak boleh menjadi praktik greenwashing.
Mengutip Encyclopedia of Corporate Social Responsibility, greenwashing merupakan praktik promosi palsu tentang organisasi yang menjaga lingkungan. Greenwashing juga bisa dalam bentuk alokasi dana besar untuk mencitrakan sebagai organisasi “hijau” ketimbang untuk aksi ramah lingkungan yang sebenarnya.
Bhima mengatakan, untuk mencegah tidak adanya praktik greenwashing tersebut bisa dilakukan cara sebagai berikut:
1.Bursa Karbon Perlu Menjaga Integritas
Bhima mengatakan, untuk mencegah tidak adanya praktik greenwashing pada bursa karbon perlu menjaga integritas yang berarti unit karbon dari hutan dijamin tidak mengalami deforestasi, kebakaran hutan dan perusakan ekosistem yang bisa menurunkan nilai dari karbon yang diperdagangkan.
“Kekhawatiran ini muncul terkait dengan skandal Verra atau salah satu lembaga sertifikasi karbon di mana 80% proyek yang di sertifikasi ternyata tidak berhasil mencegah deforestasi. Jadi integritas bursa karbon harga mati,” ujar Bhima, kepada Katadata.co.id, Rabu (4/10).
2. Tidak Biarkan Pembeli Bursa Karbon Melakukan Kenaikan Emisi
Bhima mengatakan, cara mencegah tidak adanya praktik greenwashing selanjutnya yakni dengan memastikan bahwa bursa karbon tidak membiarkan pembeli melakukan kenaikan emisi secara besar besaran, dan mengklaim sudah melakukan offset karbon.
“Jangan sampai PLTU batubara meningkatkan produksi-nya hanya karena sudah beli unit karbon di hutan Kalimantan, padahal PLTU nya di Jawa. Itu namanya greenwashing. Sumber polusinya harus berkurang,” kata dia.
3. Mencegah Double Counting atau Perhitungan Ganda
Selanjutnya, dia menyebutkan cara pencegahan praktek greenwashing bursa karbon yaitu dengan mencegah double counting atau perhitungan ganda. Menurut dia, hutan yang sudah disertifikasi karbon perlu dipastikan tidak diperdagangkan di tempat lainnya atau dibeli oleh perusahaan yang sama.
Di sisi lain, Bhima meminta pemerintah untuk segera mempercepat dalam penerapan pajak bursa karbon. Selain itu, pajak karbon di Indonesia terlalu kecil. Bahkan, relatif lebih kecil dibandingkan rata-rata negara berkembang lainnya yang sudah memiliki instrumen pajak karbon.
“Harusnya pajak karbon cepat diberlakukan dengan tarif yang lebih tinggi, sehingga bisa memperdalam likuiditas bursa karbon itu sendiri. Itu mungkin yang sekarang harus dilakukan,” kata dia.
Target perdagangan karbon sebesar Rp 15 ribu triliun yang kerap kali dilontarkan oleh pemerintah dan OJK kemungkinan besar tidak bisa tercapai. “Kemungkinan harga perdagangan karbon akan jauh di bawah target itu, kalau belum ada pemberlakuan pajak karbon,” ujarnya.
Mengutip UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 13 ayat (2), implementasi pajak karbon akan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau pasar karbon.
Sementara itu, harga pajak karbon nantinya akan ditentukan oleh mekanisme pasar melalui aspek permintaan dan penawaran. Oleh sebab itu, mekanisme pasar tersebut yang akan menggambarkan bagaimana minat global untuk ikut berpartisipasi dalam mengurangi emisi karbon di Indonesia.
Peta jalan pajak karbon bakal memuat empat aspek, yakni strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, memperhatikan pembangunan energi baru dan terbarukan, serta keselarasan antarberbagai kebijakan.