Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyatakan akan mendanai program pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2003 tentang Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam rangka Percepat Transisi Energi dan Ketenagalistrikan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pemerintah bisa segera mengimplementasikan pajak karbon untuk mendapatkan sumber pendapatan transisi energi termasuk pensiun dini PLTU batu bara.
“Regulasi pajak karbon sudah ada, jadi tinggal di eksekusi secepatnya,” ujar Bhima melalui keterangan tertulis, dikutip Senin (23/10).
Bhima mengatakan, pemerintah juga bisa mengurangi berbagai insentif pajak untuk sektor berbasis fosil. Dengan demikian, tercipta ruang fiskal yang lebih lebar untuk pendanaan transisi energi, termasuk pensiun dini PLTU.
Selain APBN, terdapat sejumlah instrumen lain yang bisa membiayai pensiun dini PLTU yaitu:
1. Skema swap for coal retirement
Skema ini yaitu menukar pembayaran utang dengan penutupan PLTU batubara.
“Pemerintah juga bisa dengan cara debt cancellation yang bisa didorong ke negara maju G-7 sehingga pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk melakukan transisi energi secara cepat,” kata Bhima.
2. Pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM)
Bhima mengatakan, proses pendanaan dalam JETP (Just Energy Transition Partnership) dan ETM, bisa segera direalisasikan. Namun, dia berharap bentuk pendanaan bagi Indonesia dari berbagai negara dan lembaga multilateral lebih banyak berbentuk hibah dibandingkan pinjaman.
3. Investasi
Pemerintah aktif meraih investasi luar negeri untuk menggarap proyek transisi energi di Indonesia. Baru-baru ini, pemerintah memfasilitasi investasi Cina untuk menggarap proyek energi bersih di Indonesia.
Pembiayaan Perlu Disaring
Disisi lain, Bhima meminta pemerintah untuk selektif dan mempertimbangkan secara matang bentuk kerja sama pendanaan transisi energi agar tidak terjebak pada impor teknologi yang mahal dan belum terbukti seperti Teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS). Sejumlah solusi juga tetap memperpanjang usia PLTU batubara seperti co-firing dan biomassa.
“Tugas dari platform menyaring mana bentuk pendanaan yang paling terbaik bagi konteks Indonesia,” kata dia.
Namun demikian, Bhima menyetujui langkah positif pemerintah untuk membiayai pensiun dini PLTU batu bara menggunakan APBN. Pasalnya, menurut dia selama ini komitmen untuk mempercepat penutupan PLTU batu bara sering terhalang oleh kecilnya mobilisasi dana domestik terutama dari APBN.
Seiring dengan hal itu, dia meminta pemerintah untuk perlu memastikan agar proses pendanaan dari dana publik APBN bersifat transparan dan partisipatif. Misalnya untuk pendanaan pembiayaan dari PLTU batu bara juga memasukkan dana kompensasi kepada masyarakat sekitar dan pekerja yang terdampak.
Kriteria Penerima Dana APBN
Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, pemerintah perlu memastikan bahwa dana yang diterima pemilik aset PLTU untuk pensiun dini harus diinvestasikan lagi ke pembangkit energi terbarukan.
“Ini perlu jadi kriteria pemilihan atau syarat penerima kucuran dana untuk pensiun dini PLTU,” ujarnya.
Fabby juga meminta kepada pemerintah untuk mempertimbangkan beberapa hal dalam menggunakan APBN guna membiayai pensiun dini PLTU batu. Adapun beberapa pertimbangkan tersebut diantaranya yaitu:
1. Harus ada kandidat proyek yang feasible, misalnya dengan memprioritaskan aset PLN yang sudah tua dan emisinya tinggi.
2. Anggaran APBN sebaiknya diberikan setiap tahun secara bertahap, sesuai kebutuhan pensiun dini PLTU sampai dengan 2030.
3. Untuk PLTU Indenpendent Power Producer (IPP) swasta, pemerintah bisa membuka opsi lelang atau auction, sesuai dengan kebutuhan dan target. Misalnya dengan membuat mekanisme lelang.
4. Pemerintah harus memastikan agar kelanjutan pensiun dini PLTU dipakai oleh pemilik aset untuk investasi pada pembangkit energi terbarukan di Indonesia, bukan di negara lain.
Menurut laporan riset IESR yang bertajuk Financing Indonesia's Coal Phase-Out, sampai Mei 2022 ada 86 PLTU batu bara yang beroperasi di Indonesia dengan total kapasitas terpasang 40,2 GW.
Adapun 28 PLTU lainnya (9,2 GW) merupakan captive plants, yakni pembangkit listrik yang dimiliki perusahaan swasta dan hasilnya hanya digunakan untuk kepentingan privat (tidak dijual kepada publik).
Dari seluruh pembangkit tersebut, IESR menilai ada 12 PLTU batu bara yang layak dipensiunkan dini pada tahun 2023, seperti tertera dalam grafik.