Pengembangan bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau sustainable aviation fuel (SAF) memiliki potensi yang tinggi di Indonesia. Namun demikian, pengembangan bioavtur tersebut memiliki sejumlah tantangan.
Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Edi Wibowo, mengatakan bioavtur memiliki permintaan domestik dan pasar internasional yang tinggi. Selain itu, Indonesia memiliki potensi dan alternatif bahan baku domestik di dalam negeri.
"Pengembangan bioavtur juga mendapat dukungan kebijakan pemerintah dan global untuk penggunaan SAF sebagai bahan bakar rendah karbon," kata Edi dalam Focus Group Discussion bertajuk "Biodiesel dan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan di Indonesia" yang digelar oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta, Rabu (13/12).
Dia mengatakan, pemerintah berupaya mengembangkan peta jalan bioavtur untuk penerbangan komersial. Hal itu diharapkan dapat mendorong produksi bioavtur dalam skala industri dengan harga keekonomian yang terjangkau.
Tantangan Bioavtur
Namun demikian, pengembangan bioavtur memiliki sejumlah tantangan, yaitu:
1. Terbatasnya ketersediaan jumlah dan jenis bahan baku untuk produksi SAF
Bahan baku untuk bioavtur tersebut juga digunakan untuk bahan baku makanan dan industri lainnya seperti sawit dan tebu.
2. Biaya produksi bioavtur masih tinggi
Edi mengatakan, biaya produksi bioavtur perlu ditekan sehingga SAF layak secara ekonomi dan produksi dapat ditingkatkan secara signifikan.
3. Infrastruktur yang terbatas
Tantangan ketiga yaitu masih terbatasnya infrastruktur untuk produksi, penyimpanan, dan distribusi SAF.
4. Proses sertifikasi yang rumit
5. Penelitian dan pengembangan teknologi dan inovasi proses yang berkelanjutan untuk menjadikan SAF sebagai bahan bakar aviasi yang affordable.
"Saat ini, yang sudah mau mulai mengembangkan Pertamina. Namun ke depan juga kami dengar ada beberapa badan usaha yang mulai tertarik untuk mengembangkan SAF ini," ucap Edi.
6. Kesadaran masyarakat
Tantangan berikutnya soal perlunya peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai manfaat SAF untuk mendorong dukungan yang lebih besar dari pembuat kebijakan dan investor.
Pertamina Produksi Bioavtur
Pada 27 Oktober 2023, Pertamina dan Garuda Indonesia melaksanakan penerbangan komersil perdana menggunakan bahan bakar ramah lingkungan, Pertamina SAF. Penerbangan perdana dengan bioavtur tersebut memiliki rute dari Bandara Soekarno-Hatta (Tangerang) menuju Bandara Adi Soemarmo (Surakarta), dan kembali ke Jakarta.
Perjalanan Pertamina SAF telah diinisiasi sejak 2010 melalui Research & Technology Innovation Pertamina dengan melakukan riset pengembangan produk dan katalis.
Pada 2021, PT Kilang Pertamina Internasional berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap. Produksi dilakukan dengan teknologi co-processing dari bahan baku refined bleached deodorized palm kernel oil (RBDPKO) atau minyak inti sawit yang telah mengalami proses pengolahan pemucatan, penghilangan asam lemak bebas dan bau. Adapun kapasitas produksi mencapai 1.350 kilo liter (KL) per hari.
Melalui kolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait, produk SAF tersebut kemudian melalui serangkaian uji coba pada mesin dan unit pesawat. Rangkaian pengujian dimulai dari cell test di fasilitas milik Garuda Maintenance Facility (GMF), ground run, flight test pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia.
Selanjutnya yaitu uji terbang pesawat komersil milik Garuda Indonesia pada 4 Oktober 2023 pada pesawat Boeing 737-800 NG milik PT Garuda Indonesia.
Produk Pertamina SAF akan dipasarkan dan didistribusikan melalui subholding PT Pertamina Patra Niaga.
Hasil dari serangkaian pengujian yang telah dilaksanakan menunjukkan bahwa performa SAF J2.4 memiliki kualitas yang sama dengan avtur konvensional.