Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai penurunan target bauran energi terbarukan (EBT) menyiratkan lemahnya komitmen untuk melakukan transisi energi di Indonesia. Target baru EBT ini tidak sejalan dengan target bauran energi terbarukan dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang membidik porsi EBT 44% pada 2030.
Dewan Energi Nasional (DEN) tengah menggodok pemutakhiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dengan rancangan kebijakan baru. Dalam RPP itu, KEN menetapkan target bauran EBT di 2025 turun dari sebelumnya 23 persen menjadi 17-19% dan di 19-21% pada 2030. Sementara itu, target EBT di 2050 meningkat dari 30% menjadi 58-61% dan 70-72% pada 2060.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan periode 2025 hingga 2030 sepatutnya menjadi tonggak penting lepas landasnya transisi energi di Indonesia. Alhasil, Indonesia dapat mencapai target energi terbarukan lebih dari 40% dan puncak emisi sektor energi di 2030.
“Capaian bauran energi terbarukan yang ambisius di dekade ini penting agar bisa menyelaraskan emisi GRK Indonesia sesuai dengan target Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan rata-rata temperatur global di bawah 1,5 derajat Celcius,” kata Fabby dalam keterangan pers, dikutip pada Kamis (1/2).
Fabby mengatakan penetapan target baru EBT ini tidak sejalan dengan target bauran energi terbarukan dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang membidik bauran EBT 44% pada 2030. “JETP telah menyepakati target bauran energi terbarukan di atas 34% di 2030 dan target ini selaras dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang dibahas berbarengan dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) tahun lalu,” kata Fabby.
IESR menilai target bauran energi terbarukan yang diusulkan DEN membuat kredibilitas arah kebijakan transisi energi Indonesia diragukan oleh investor dan dunia internasional. “Ketimbang menurunkan target dengan alasan realistis, DEN seharusnya lebih progresif untuk melakukan transisi energi,” ujar dia.
DEN Seharusnya Membongkar Hambatan Koordinasi
Fabby menilai DEN seharusnya dapat membongkar hambatan-hambatan koordinasi, tumpang tindih kebijakan dan prioritas untuk membuat energi terbarukan dan efisiensi energi melaju kencang. IESR memandang strategi dalam RPP KEN seperti pengoperasian PLTN berkapasitas 250 MW di 2032 dan penggunaan CCS/CCUS pada PLTU yang masih beroperasi pada 2060 ini belum didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis di Indonesia sampai saat ini.
“PLTN dengan kapasitas kecil dari 300 MWe, small modular reactor, masih belum tersedia teknologi yang terbukti aman dan ekonomis,” kata Fabby.
IESR memandang Indonesia sendiri masih harus membangun infrastruktur institusi (NEPIO), kesiapan regulator, standar keamanan, serta ketersediaan teknologi SMR yang sudah teruji, serta persetujuan masyarakat, sebelum mulai membangun PLTN.
“Adapun aplikasi CCS/CCUS pada PLTU hingga saat ini masih menjadi solusi mahal dan tidak efektif untuk menangkap karbon, walaupun teknologi ini sudah dikembangkan puluhan tahun,” ucapnya.
Sementara itu, Deon Arinald, Manajer Program Transformasi Energi IESR, mengungkapkan Indonesia akan terbebani dengan biaya penerapan carbon capture and storage (CCS) pada PLTU yang mahal. Selain itu biaya operasional yang rentan volatilitas serta tidak berkelanjutan.
Sedangkan pembangunan PLTN menjadi antiklimaks di tengah menurunnya kapasitas PLTN dunia setelah tragedi nuklir di Fukushima. “Pada dekade ini, seharusnya strategi mitigasi emisi GRK Indonesia pada sektor energi dapat difokuskan pada pembangunan teknologi energi terbarukan dan energy storage yang sudah terbukti dapat menyediakan energi dengan biaya kompetitif dengan PLTU batubara yang masih dapat subsidi,” kata Deon.
Deon mengatakan seharusnya Indonesia mempercepat ekspansi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). “Pekerjaan rumah yang perlu diperbaiki adalah bagaimana menyiapkan pipeline proyek-proyek yang siap untuk diinvestasikan serta proses pengadaan di PLN,” ujarnya.