Pengakhiran operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dapat menghindari biaya kesehatan hingga US$ 230 miliar atau sekitar Rp 3.680 triliun pada 2050. Pensiun dini PLTU akan mengurangi polusi yang menyebabkan penyakit.
"Dengan skenario yang sejalan dengan Persetujuan Paris atau pembatasan suhu bumi 1,5 derajat Celcius, biaya kesehatan yang dapat dihindari dari pengakhiran operasional PLTU sekitar USD 230 miliar atau sekitar Rp3.680 triliun pada pertengahan abad ini," ujar Koordinator Pembiayaan Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR), Farah Vianda, dalam keterangan tertulis dikutip Rabu (1/5).
Penghitungan tersebut termaktub dalam laporan IESR berjudul “Identifikasi Kebutuhan Pembiayaan untuk Transformasi Sektor Ketenagalistrikan Indonesia yang Berkeadilan”. Laporan ini disusun bekerja sama dengan New Climate Institute (NCI)
Sementara itu berdasarkan skenario yang sejalan dengan target JETP, pengakhiran operasional PLTU batubara akan mampu mengamankan USD 150 miliar atau sekitar Rp 2.400 triliun pada 2050.
Analis Kebijakan Iklim New Climate Institute, Reena Skribbe, menuturkan bahwa suksesnya transisi energi di Indonesia akan bergantung pada integrasi politik dan kelembagaan ke dalam proses perencanaan menyeluruh. Menurutnya, yang paling penting ialah pengarusutamaan keadilan di semua tingkatan pemerintahan.
Menurut dia, pengakhiran operasional PLTU akan mengurangi tingkat polusi mencapai 12 persen berdasarkan skenario sesuai target JETP dan 18 persen berdasarkan skenario sejalan Persetujuan Paris.
Namun demikian, saat ini masih terdapat 48 GW PLTU yang masih beroperasi dan 20 GW lainnya yang masih dalam rencana. Berdasarkan data tersebut, maka dengan pengurangan pembakaran batubara setiap megawatt hour (MWh) akan memberikan manfaat ekonomi sekitar USD 30 atau sekitar Rp488 ribu.
"Jika dibandingkan dengan pendanaan JETP sebesar USD 22 miliar, maka biaya yang dapat dihindari dari pengurangan polusi udara besarnya berkali lipat,” kata Reena.
Berdasarkan laporan yang sama, pembiayaan Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia yang bersifat hibah dan pinjaman lunak diperlukan untuk agenda transisi energi. Hibah dapat menjadi insentif dalam aktivitas pengakhiran operasional PLTU batubara, kompensasi, dan pelatihan bagi pekerja yang terdampak di sektor batubara. Hanya saja porsi hibah dalam JETP tergolong terbatas, yaitu hanya 1,4 persen dari total pembiayaan.
Sementara sebanyak US$ 6,9 miliar pembiayaan lunak pada JETP dapat digunakan untuk kompensasi potensi kerugian yang timbul dari pengakhiran operasional PLTU batubara, pembangunan infrastruktur energi terbarukan, dan insentif bagi pengembang energi terbarukan untuk mendukung transisi pekerja sektor batubara ke energi terbarukan.