Italia Batasi Pemasangan Panel Surya di Lahan Pertanian

PLN
PLTS berkapasitas 371 kilowatt peak (kWP) di daerah Temajuk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
7/5/2024, 17.27 WIB

Italia akan membatasi pemasangan panel surya di lahan pertanian. Aturan ini memicu kritik karena dapat merusak tujuan dekarbonisasi di negara tersebut.

Menteri Pertanian Italia, Francesco Lollobrigida, mengatakan aturan baru ini merupakan bagian dari melindungi pertanian dan perikanan. PLTS dinilai tidak sesuai dengan budidaya pertanian.

“Kami mengakhiri instalasi liar panel surya yang dipasang di lahan pertanian," kata Lollobrigida dikutip dari Reuters, Selasa (7/5).

Sebaliknya, asosiasi lingkungan menuduh pemerintah merusak tujuan aksi hijau yang disepakati dengan mitra dari negara-negara G7. Pasalnya, pada pertemuan menteri energi G7 minggu lalu, Italia berkomitmen untuk kapasitas energi terbarukan terpasang menjadi tiga kali lipat pada 2030.

Selain itu, Italia juga berkomitmen menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara pada paruh pertama dekade berikutnya.

Sempat menentang aturan baru tersebut, Menteri Energi Italia Gilberto Pichetto Fratin mengatakan bahwa pembatasan baru tidak akan membahayakan tujuan pemerintah untuk memasang sekitar 38 GW pada tahun 2030 melalui pembangkit tenaga surya.

PLTS Sumber Energi Teraman

Laporan Our World in Data  menyatakan sekitar 60% bauran listrik global masih didominasi oleh bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Sumber energi ini tak hanya menyebabkan perubahan iklim yang membahayakan lingkungan melainkan juga kematian akibat kecelakaan dan polusi udara.

Our World in Data menghitung tingkat kematian akibat kecelakaan dan polusi udara global dari sumber energi listrik berdasarkan terawatt per jam (TWh). Adapun 1 TWh hampir sama dengan konsumsi listrik tahunan 150.000 warga di Uni Eropa. 

Hasilnya, lignit atau batu bara coklat membunuh lebih banyak orang dari sumber energi listrik lainnya. Bahan bakar fosil ini memiliki tingkat kematian 32,72 kematian per Twh.
 

“Bahan bakar fosil dan biomassa membunuh lebih banyak orang daripada nuklir dan energi terbarukan modern. Batu Bara, sejauh ini, adalah yang paling kotor,” demikian dikutip dari laman Our World in Data.

Sedangkan, nuklir, yang umumnya dipersepsikan sebagai peristiwa tragis seperti kecelakaan Chernobyl di Ukraina (1986) dan Fukushima di Jepang (2011), justru memiliki tingkat kematian lebih rendah dari batu bara.

“(Dua kecelakaan nuklir) ini adalah peristiwa tragis. Namun, dibandingkan dengan jutaan orang yang mati karena bahan bakar fosil setiap tahun, jumlah kematian terakhir sangat rendah,” dikutip dari laporan tersebut.

Sementara itu, energi surya alias solar memiliki tingkat kematian terendah yakni 0,02 kematian per TWh. Meskipun teraman, namun sumber energi ini juga mengakibatkan sejumlah kecil orang meninggal dalam kecelakaan di rantai pasokan, seperti kebakaran selama pemasangan turbin atau panel surya.

Adapun untuk menghentikan perubahan iklim, masyarakat dapat beralih dari sumber energi batu bara ke energi terbarukan. Transisi ini bukan hanya akan melindungi generasi mendatang, melainkan juga akan memberikan manfaat kesehatan yang besar bagi generasi saat ini.

Reporter: Rena Laila Wuri