Pemerintah dan DPR RI masih melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET). Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, mengatakan ada satu pasal yang pembahasannya masih alot.
Pasal tersebut mengenai Green Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hijau. Pembahasan berjalan alot karena pasal tersebut merupakan roh dari RUU EBET.
Green RUPTL atau RUPTL hijau juga menjadi salah satu pendorong angka bauran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia, dengan belum adanya pasal tersebut maka dikhawatirkan angka bauran EBT akan berjalan lambat.
"Jadi, unsur itu yang ingin kita clearkan, bahwa nanti kontribusi swasta itu kita akan sangat harapkan untuk bisa masuk ke investasi-investasi renewable," ujar Eniya saat ditemui di JCC, Kamis (4/7).
Lanjutnya, didalam RUU EBET juga akan menggarisbawahi peraturan pemerintah yang akan terbit mengenai percepatan bauran EBT di Indonesia.
Setelah undang-undangnya terbit, pemerintah akan menerbitkan peraturan untuk energi baru, di dalamnya terdapat beberapa sumber EBT yang akan dikembangkan di Indonesia.
"Yang paling penting memang RUU EBET ini rohnya di Green RUPTL saja. Dan lain nantinya akan ada, kita sudah mencantumkan nilai ekonomi karbon. Itu sudah clear dengan DPR," ujar dia.
Pasal lain yang menjadi perdebatan dalam RUU EBET mengenai skema power wheeling. Eniya mengatakan permasalahan terkait sewa transmisi sebenarnya sudah dengan jelas tercantum dalam Undang-Undang (UU) Ketenagalistrikan yang telah diterapkan di Indonesia.
"Yang namanya sewa transmisi itu sudah dijelaskan di Undang-Undang Ketenagalistrikan. Itu sama persis yang kita cantumkan di RUU EBET ini," ucapnya.
Dalam RUU EBET skema power wheeling, hanya ditambahkan penekanan khusus untuk EBT. Ia berharap dengan bahasa yang sama tetapi dengan penekanan khusus mampu mendorong akselerasi EBT di Indonesia.
"Nanti untuk harga ketentuan penggunaannya itu ditentukan oleh Menteri ESDM," kata dia.