Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin transisi energi global. Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Ida Nuryatin Finahari, mengatakan potensi itu dapat tercapai dengan pengembangan transisi super grid.
Super grid atau jaringan super adalah jaringan transmisi area luas yang umumnya lintas benua atau multinasional. Dengan adanya super grid, listrik yang dihasilkan oleh energi baru terbarukan dapat dikirim dari lokasi sumber yang umumya ada di luar Jawa, menuju pusat konsumsi di Jawa.
"Proyek interkoneksi Sumatra-Jawa, Kalimantan-Jawa dan Nusa Tenggara Bali bertujuan untuk mengevaluasi potensi energi terbarukan ke pusat beban, mendukung industri smelter, dan kawasan industri hidrogen hijau," ujar Ida pada Peluncuran Electricity Connect 2024 di Jakarta, Rabu (17/7).
Meski begitu, dia mengatakan, terdapat beberapa tantangan yang perlu dihadapi untuk menerapkan super grid. Tantangan tersebut adalah mengenai investasi yang besar, perencanaan matang, dan koordinasi antar pemangku kepentingan untuk mengatasi tantangan geografis dan juga teknologi yang ada.
Oleh sebab itu, peran serta investor, baik dari dalam maupun luar negeri, sangat diperlukan untuk membiayai infrastruktur super grid yang dibutuhkan.
"Pemerintah tentunya mengharapkan dukungan dari seluruh stakeholder, seluruh pihak untuk mendukung pengembangan transmisi dan super grid di Indonesia," ujarnya.
Dongkrak Kapasitas EBT
Sementara itu, Direktur Utama PT PLN, Darmawan Prasodjo mengatakan pemanfaatan sumber daya energi baru terbarukan (EBT) tidak akan maksimal bila tak diiringi dengan pembangunan transmisi kelistrikan antar pulau di Indonesia. Tanpa adanya transmisi seperti smart grid, pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) hanya bisa mencapai 5 gigawatt (GW).
"Tetapi kalau membangun smart grid, flexible power generation, smart dispatch center, smart distribution, smart transmission, smart meter, ternyata bisa meningkatkan dari sekitar 5 giga menjadi mendekati sekitar 30 gigawatt tambahan pembangkit surya dan angin," ujar Darmawan, Rabu (17/7).
Dia mengatakan, memaksimalkan potensi EBT dibutuhkan biaya yang cukup besar. Salah satunya adalah untuk membangun transmisi dari sumber EBT ke pengguna listrik. Hal tersebut diperlukan lantaran posisi wilayah dengan sumber EBT besar dan pengguna listrik berada di pulau yang berbeda.
Menurut Darmawan, diperlukan kolaborasi semua pihak untuk memaksimalkan pemanfaatan potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. PLN tidak mungkin jalan sendiriuntuk memaksimalkan potensi EBT di Indonesia. "Ya kalau sendirian itu tidak mungkin. Rasanya ini menjadi tugas yang berat," ujar Darmawan.