Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) menilai, penerapan kebijakan power wheeling atau skema pemanfaatan bersama jaringan listrik tidak tepat jika diterapkan dalam waktu dekat.
Ketua APPLTA, Zulfan Zahar mengatakan Indonesia belum siap untuk menerapkan power wheeling karena infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia belum terpasang secara penuh.
"Kami dari asosiasi tidak mendukung adanya power wheeling diadakan saat ini," ujar Zulfan dalam Forum Menuju Indonesia Hijau, di Jakarta, Selasa (17/9).
Zulfan mengatakan, penerapan skema ini membuat pengembang khawatir tidak mendapatkan pembiayaan dari perbankan.
Menurutnya, asosiasi cukup melaksanakan jual beli dengan PLN tanpa adanya power wheeling. Pasalnya, saat ini kontrak perusahaan pengembang PLTA dengan PLN sejauh ini berjalan cukup baik.
"Kalau ini harus ditawarkan ke swasta. Kami tidak yakin kontrak kami akan bankable," ujarnya.
Power Wheeling Masuk RUU EBET
Power wheeling masih menjadi momok yang mengganjal pembahasan Rancangan Undang-undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET). Poin power wheeling merupakan usulan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Mekanisme tersebut memperbolehkan pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP) membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung ke masyarakat melalui jaringan transmisi milik negara.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi mengatakan, permasalahan terkait sewa transmisi sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-Undang (UU) Ketenagalistrikan yang telah diterapkan.
"Sewa transmisi itu sudah dijelaskan di Undang-Undang Ketenagalistrikan. Itu sama persis yang kita cantumkan di RUU EBET ini," ujar Eniya saat ditemui di JCC, Kamis (4/7).
Dalam RUU EBET, Eniya mengatakan, skema power wheeling hanya ditambahkan penekanan khusus untuk EBT. Penerapan mekanisme tersebut diharapkan mampu mendorong akselerasi EBT di Indonesia. Sementara mengenai harga dan ketentuan penggunaan transmisi PLN untuk listrik EBT akan ditentukan dan diatur oleh Menteri ESDM.
Eniya mengatakan, pemerintah dan DPR sudah menghitung bahwa PLN tetap akan menerima keuntungan dengan sistem power wheeling. Hal itu untuk mengantisipasi kekhawatiran PLN akan mengalami kerugian jika diterapkan skema power wheeling.
"(Informasi) PLN rugi itu kita sudah kami hitung. Sewa jaringannya harus sekian, terus modalnya harus sekian. Itu sudah sangat untung," katanya.
Berpotensi Rugikan Negara
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (Iress) Marwan Batubara mengatakan skema power wheeling dinilai sebagai upaya privatisasi pengusahaan tenaga listrik. Skema ini menjadikan tenaga listrik sebagai komoditas pasar sehingga berpotensi menaikkan tarif listrik.
"Hal ini dapat berarti negara tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang hidup kekurangan secara ekonomi," kata Marwan.
Menurut Marwan, skema power wheeling akan memberikan kesempatan kepada swasta sehingga mengurangi pendapatan PLN. Kebijakan ini berpotensi membuat beban subsidi energi APBN meningkat sehingga tarif listrik naik.
"Skema PW jelas tidak adil secara moral Pancasila, inkonstitusional, serta akan merugikan rakyat dan negara dengan beban tarif listrik dan beban subsidi APBN yang akan naik," kata Marwan dalam webinar "Tolak Penerapan Skema Power Wheeling Dalam RUU EBET".
Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) tahun 2016-2022, Riki Ibrahim, menyatakan pemaksaan power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dapat merugikan negara.Rancangan UU EBET sebaiknya fokus pada pemberian insentif fiskal yang diperluas dan diperbesar agar energi terbarukan dapat berkembang cepat di Indonesia.
Ia mengatakan dibukanya kesempatan pemanfaatan bersama jaringan transmisi listrik sebagaimana termuat dalam Permen ESDM No.01/2015, bukan berarti power wheeling diperbolehkan dalam RUU EBET.
"Hal itu karena disparitas harga listrik yang lebih mahal dari apa yang telah diregulasikan oleh pemerintah, akan mengakibatkan permasalahan baru yang dapat merugikan pemasukan negara," ujar Riki yang juga dosen energi terbarukan Universitas Darma Persada, seperti dikutip dari Antara, Selasa (3/9).