AS Bakal Kenakan Tarif Baru untuk Produk Panel Surya dari ASEAN
Para pejabat perdagangan Amerika Serikat (AS) akan memberlakukan tarif baru untuk panel-panel surya dari empat negara Asia Tenggara, yakni Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Kamboja. Produsen AS mengeluhkan produk panel surya dari keempat negara tersebut menerima subsidi yang tidak adil dan membuat produk-produk AS tidak kompetitif.
Kebijakan yang akan diumumkan pada Selasa (1/10) ini merupakan bagian pertama dari dua keputusan awal yang akan diambil oleh Departemen Perdagangan AS tahun ini. Kasus perdagangan ini diajukan oleh Hanwha Qcells, First Solar yang berbasis di Arizona, serta beberapa perusahaan yang lebih kecil yang ingin melindungi investasi miliaran dolar di bidang manufaktur tenaga surya di AS.
Para produsen itu berpendapat persaingan dari impor murah oleh perusahaan-perusahaan Cina yang beroperasi di Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Kamboja. Produk impor tersebut dinilai mengancam tujuan Presiden AS Joe Biden untuk mendorong produksi teknologi energi bersih yang diperlukan untuk memerangi perubahan iklim.
“Mereka berharap kasus-kasus ini akan membantu mereka menyamakan kedudukan,” kata Tim Brightbill, pengacara kelompok tersebut, dalam sebuah wawancara bulan lalu, seperti dikutip Reuters.
Keputusan Departemen Perdagangan AS ini untuk pertama kalinya akan mempertimbangkan dampak dari subsidi lintas batas. Misalnya, pemerintah Cina memberikan subsidi kepada produsen di Vietnam atau tempat lain. Bea masuk penyeimbang seperti itu sebelumnya telah dilarang. Namun, tahun ini departemen tersebut merampungkan aturan yang mengizinkannya.
Dalam petisi bulan April, Aliansi Amerika untuk Komite Perdagangan Manufaktur Tenaga Surya yang dipimpin oleh Hanwha menuduh produsen-produsen Tiongkok yang beroperasi di empat negara Asia Tenggara menerima subsidi yang sangat besar dari negara-negara tersebut. Subsidi yang dimaksud dalam bentuk pembiayaan yang murah, listrik dan tanah, pembebasan pajak, dan banyak lagi.
Kelompok ini juga menuduh perusahaan-perusahaan tersebut menerima subsidi dari Cina, seperti bahan baku dan komponen dengan harga murah serta dukungan lainnya melalui Belt and Road Initiative (BRI). BRI merupakan program infrastruktur yang telah berlangsung selama satu dekade untuk menghubungkan Cina dengan Asia, Timur Tengah, dan Eropa.
Kasus anti-dumping pendamping diperkirakan akan menerima keputusan awal pada November mendatang. Bea masuk imbalan cenderung lebih rendah daripada bea masuk anti-dumping, suatu bentuk tarif yang dimaksudkan untuk mencegah produsen luar negeri menjual dengan harga di bawah harga pasar.
Tidak Semua Produsen Panel Surya Setuju
AS sudah memungut serangkaian bea masuk untuk impor tenaga surya. Namun, tidak semua produsen tenaga surya AS ingin agar Departemen Perdagangan memberlakukan tarif baru untuk impor tenaga surya.
Perusahaan-perusahaan yang mendirikan pabrik panel, misalnya, mengandalkan sel surya berbiaya rendah dari Asia Tenggara untuk dirakit menjadi panel di AS. Banyak pabrik panel AS dimiliki oleh produsen besar yang berbasis di Cina.
Para pengembang proyek tenaga surya juga khawatir tarif ini akan merugikan bisnis mereka dengan menaikkan harga panel, yang sudah lebih mahal di AS daripada di tempat lain di dunia.
“Mengenakan tarif pada impor sel surya - ketika saat ini tidak ada manufaktur sel surya di AS - hanya akan meningkatkan keuntungan produsen yang sudah ada. Kebijakan ini juga akan menghambat kemampuan Amerika untuk membangun rantai pasokan tenaga surya di darat dan memenuhi permintaan yang berkembang pesat akan pasokan listrik yang bersih, terjangkau dan dapat diandalkan,” ujar Jim Murphy, Presiden Invenergy, pengembang proyek yang berbasis di Chicago.
Invenergy memiliki perusahaan patungan dengan perusahaan Cina, Longi, yang memproduksi panel surya di Ohio, yakni Illuminate USA.