Prospek penerbitan obligasi berwawasan lingkungan atau green bond di negara berkembang cukup menjanjikan. Potensi nilai obligasi hijau yang diterbitkan lebih dari US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.449. triliun pada 2023.
International Finance Corporation (IFC), anak usaha Bank Dunia, dan Amundi Asset Management tengah berupaya menciptakan pasar obligasi hijau terbesar di dunia. Salah satunya dengan menargetkan negara berkembang sehingga penjualan surat utang itu bisa melonjak dari US$ 40 miliar pada 2020.
IFC dan Amundi Asset Management berupaya meningkatkan pasar dengan mendorong emiten menerbitkan obligasi hijau ini dengan tawaran bunga rendah. “Penerbitan obligasi hijau di negara berkembang mempunyai pasar yang kuat,” kata Yerlan Syzdykov, Kepala Amundi Asset Management, dikutip dari Bloomberg, Selasa (20/4)
Kebijakan ini juga dinilai akan memberikan kesempatan untuk meningkatkan investasi hijau di berbagai bidang termasuk energi terbarukan, infrastruktur dan di bidang pertanian di negara berkembang.
Hingga saat ini, Eropa masih memimpin penerbitan obligasi hijau dengan nilai lebih dari U$ 1 triliun.
Beberapa negara seperti Indonesia dan Mesir telah menjual surat utang hijau. Segmen pasar negara berkembang masih didominasi oleh Tiongkok, dengan penjualannya di wilayah yang sangat terpapar risiko iklim seperti Afrika sub-Sahara.
Pasar obligasi hijau yang dikuasai negara maju menimbulkan kekhawatiran tak ada peluang bagi negara-negara berkembang yang paling membutuhkan pembiayaan dalam proses transisi iklim. Alasannya, aturan yang dirancang untuk negara maju tidak sesuai dengan kebutuhan negara pasar berkembang.
Director of market research at the IFC Jean Pierre Lacombe mengatakan untuk meningkatkan penerbitan di pasar berkembang, kualitas informasi bagi investor harus ditingkatkan. Sedangkan peminjam membutuhkan kesadaran yang lebih besar dan kemampuan untuk secara kredibel melabeli aset yang ramah lingkungan.
Syzdykov menyebut untuk menghindari risiko greenwashing, investor harus secara aktif terlibat dengan emiten. Dengan mencatat bahwa pihaknya baru-baru ini melakukan divestasi dari obligasi hijau Bank Negara India atas pendanaan kontroversialnya untuk proyek pertambangan.
Pembuat kebijakan juga perlu membuat perubahan dalam kerangka peraturan untuk mendukung keuangan berkelanjutan. Sejauh ini terdapat ketidaksesuaian aturan di seluruh dunia tentang apa yang merupakan proyek hijau, karena masing-masing negara membuatnya sendiri.
Berdasarkan analisis Bloomberg Intelligence kemungkinan tidak akan ada kekurangan permintaan untuk aset hijau di pasar berkembang mengingat dana untuk sektor ini mengalir deras. Dana Amundi Planet Emerging Green One senilai US$ 1,5 miliar, bermitra dengan IFC, memiliki kinerja terbaik pada kuartal terakhir.