Penetapan Target Nol Emisi Karbon Indonesia Tunggu Restu Jokowi

Arief Kamaludin (Katadata)
Ilustrasi.
21/4/2021, 14.59 WIB

Pemerintah saat ini tengah mendiskusikan penetapan target tahun net zero emissions nasional atau nol emisi karbon. Setidaknya ada empat pilihan tahun untuk tercapainya target nol emisi karbon Indonesia yakni pada 2045, 2050, 2060, atau 2070.

Direktur Lingkungan Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam mengatakan proses diskusi untuk penetapan target tahun bebas emisi masih berlangsung. Keputusan ini juga masih menunggu restu dari Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

"Mudah-mudahan nanti bisa disampaikan Pak Presiden langsung. Nanti kita lihat saja. Saya gak mau mendahului pak Presiden, bagaimana besok penyampaiannya," kata dia dalam webinar Katadata "Earth Day Forum 2021", Rabu (21/4).

Bappenas sendiri telah menyiapkan empat skenario Indonesia mencapai nol emisi karbon. Menurut simulasi Bappenas, jika Indonesia ingin menetapkan target emisi nol bersih pada 2045 atau 2050, maka puncak emisi gas rumah kaca harus terjadi pada 2027.

Sementara jika puncak emisi gas rumah kaca terjadi pada pada tahun 2033 hingga 2034, maka pilihan target nol emisi karbon baru dapat terealisasi antara tahun 2060 dan 2070. Untuk itu, Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa berharap supaya puncak emisi gas rumah kaca tidak bergeser jauh dari 2033 atau 2034.

Pasalnya, setiap pergeseran setahun dapat menggeser lima hingga 10 tahun pencapaian nol emisi karbon. "Pak Menteri sudah menyampaikan beberapa skenario. Ini semua memiliki konsekuensi yang saya kira membutuhkan perubahan yang sangat masif," kata Medrilzam.

Adapun saat ini pemerintah telah menempatkan penurunan emisi gas rumah kaca sebagai sasaran makro pembangunan. Sehingga proses pemulihan ekonomi nasional yang terdampak pandemi Covid-19 dapat mengedepankan ekonomi hijau.

"Sekarang ini yang sedang kita dorong adalah transformasi besar besaran ke semua sektor arahnya ke ekonomi hijau. Besok mungkin pak Presiden akan sampaikan itu juga," ujarnya.

Dia pun juga mendorong semua pihak untuk turut serta membantu pemerintah dalam menangani perubahan iklim. Pasalnya, isu perubahan iklim bukan lagi masalah yang sepele.

Dalam pembangunan rendah karbon, Bappenas tidak hanya berbicara mengenai upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. Namun juga berupaya memperkenalkan satu indikator baru yakni intensitas emisi.

"Kami dorong semua elemen masyarakat biar bergerak. Terutama dalam renewable energy. Harapannya tentunya saling mengisi. Gak mungkin pemerintah bekerja sendiri," kata dia.

Direktur Program Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menilai upaya menangani perubahan iklim saat ini cukup mendesak. Oleh sebab itu perlu dukungan pemerintah untuk berjibaku menurunkan emisi gas rumah kaca.

Menurut dia akan sangat bagus sekali jika komitmen pemerintah dalam menentukan nol emisi karbon dapat ditetapkan di tahun 2045 atau 2050. "Kalau kita di sektor lahan sangat akan bisa menentukan pencapaian net zero emissions sebelum 2070," ujarnya.

Mantan Menteri sekaligus Ekonom Senior Emil Salim sebelumnya mengusulkan adanya kebijakan yang mendorong negative zero emissions atau emisi karbon negatif. Pasalnya, dunia saat ini telah menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 51 miliar ton pada 2021.

"Pengaruhnya jelas pada perubahan iklim bumi, karena gas rumah kaca mengakibatkan timbulnya gejala bahwa bumi semakin panas," kata dia.

Oleh karena itu, strategi untuk nol emisi karbon tidaklah cukup untuk menangkal perubahan iklim yang sudah terjadi. Pemerintah perlu target ambisius guna mengurangi dampak ledakan dari emisi gas rumah kaca ini. "Itu strategi besar yang harus dikejar jika kita ingin menyelamatkan bumi," katanya.

Apalagi suhu atmosfer bumi rata-rata terus mengalami kenaikan. Sementara, emisi gas rumah kaca akan terus menumpuk, tak serta merta hilang begitu saja.

Jika kondisi ini terus terjadi, diproyeksikan pada 2100 suhu bumi dapat naik antara empat hingga delapan derajat celcius. "Lingkungan babak belur dan manusia tidak punya kemampuan untuk mensubstitusi alam maka terjadilah kiamat," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan