Penerbitan Obligasi Hijau Global Meroket 186% Menjadi Rp 4.154 Triliun

Arief Kamaludin (Katadata)
Ilustrasi. Investor yang semakin menyadari isu-isu terkait lingkungan dan perubahan iklim memacu pertumbuhan obligasi hijau berkelanjutan.
Penulis: Happy Fajrian
29/4/2021, 16.41 WIB

Penerbitan obligasi berkelanjutan atau obligasi hijau dunia melonjak lebih dari dua kali lipat secara tahunan ke rekor tertingginya pada kuartal I 2021. Hal ini didorong kesadaran lingkungan yang meningkat di kalangan investor dalam beberapa tahun terakhir, sejalan dengan upaya perekonomian dunia menurunkan emisi karbon.

Menurut data Refinitiv, nilai obligasi berkelanjutan yang diterbitkan pada kuartal I tahun ini nilainya mencapai US$ 286,51 miliar atau sekitar Rp 4.154,39 triliun, melonjak 186,45% secara tahunan (year on year) dari US$ 100,02 miliar pada periode yang sama 2020.

"Fokus politik, regulasi dan sosial pada isu keberlanjutan, khususnya di pasar negara maju maju, berarti bahwa pergeseran menuju aset berkelanjutan tampaknya akan mendominasi di masa depan," kata kepala strategi investasi global BlackRock Investment Institute, Wei Li, dikutip Reuters Kamis (29/4).

Menurut data Refinitiv, total obligasi berkelanjutan yang mencapai US$ 286,51 miliar tersebut di antaranya terdiri dari obligasi hijau US$ 131,27 juta (Rp 1.903,41 triliun), naik 273,67% yoy dari US$ 35,13 miliar. Serta pinjaman berkelanjutan US$ 113,56 miliar (Rp 1.646,62 triliun), naik 134,34% yoy dari US$ 48,46 miliar.

Dana dari obligasi hijau ini akan digunakan untuk proyek-proyek energi hijau seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga angin, hingga program vaksinasi, atau menyediakan perumahan yang terjangkau.

Direktur investasi pendapatan tetap Aberdeen Standard Investments James Athey mengatakan bahwa klien semakin sadar akan isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG), sehingga mereka mencari pengelola investasi yang menawarkan hal tersebut.

“Klien secara sadar mencari produk yang berupaya memengaruhi perilaku penerbit obligasi dan bersedia membayar untuk hak istimewa tersebut. Mereka sering secara implisit mengizinkan manajer portofolio untuk membayar ‘greenium’ (premium berbasis hijau), untuk obligasi yang relevan,” ujar Athey.

Karena sering kali lebih murah, maka banyak perusahaan atau emiten yang ingin terlibat dalam pembiayaan hijau. Dinamika ini kemungkinan akan terus berlanjut selama beberapa tahun ke depan, sehingga pertumbuhan di pasar obligasi ini diperkirakan akan signifikan.

Adapun lembanga keuangan seperti bank menyumbang bagian terbesar dari total penerbitan obligasi hijau pada tiga bulan pertama tahun ini dengan porsi mencapai 41%. Sedangkan pemerintah memiliki bagian 21%.

Sementara bank terbesar dalam hal penerbitan obligasi berkelanjutan yaitu JPMorgan Chase sebesar US$ 9,84 miliar (Rp 142,68 triliun) dalam bentuk obligasi hijau, diiktui BNP Paribas US$ 8,67 miliar (Rp 125,71 triliun) dengan US$ 7,32 miliar (Rp 106,14 triliun) berupa obligasi sosial, dan Citigroup US$ 7,14 miliar (RP 103,53 triliun).