ADB: RI Jadi Contoh Pemulihan Ekonomi lewat Pengembangan Ekonomi Hijau

ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/hp.
Irigasi dengan pompa tenaga surya di Desa Jompo Kulon, Sokaraja, Banyumas, Jateng, Senin (19/4/2021). Bank Pembangunan Asia (ADB) berkomitmen memberikan dukungan kepada Indonesia untuk mengembangkan model perekonomian hijau.
23/7/2021, 08.04 WIB

Bank Pembangunan Asia (ADB) menyebut Indonesia berpeluang memimpin penerapan ekonomi hijau yang berbasis pada penangan perubahan iklim di kawasan Asia Tenggara.  ADB juga berjanji akan memberikan dukungan penuh kepada pemerintah untuk menerapkan model ekonomi baru ini.

Presiden ADB Masatsugu Asakawa mengatakan penerapan ekonomi hijau dapat menjadi batu loncatan bagi Indonesia dan negara berkembang lain untuk mempercepat pemulihan ekonomi pasca Covid-19. RI dapat menjadi contoh lantaran akan memimpin negara kelompok 20 ekonomi utama (G20) pada 2022 dan ASEAN pada 2023.

"ADB berkomitmen untuk memberikan dukungan penuh kepada Indonesia melalui sovereign yang kami miliki dan operasi sektor swasta, serta saling berbagi pengetahuan." kata Asakawa dalam keterangannya di Kemenkeu.go.id, Kamis, (22/7).

Indonesia telah mematok target nasional untuk penanganan perubahan iklim dalam pertemuan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 2016 lalu. Dalam forum tersebut, pemerintah berjanji  akan mengurangi 29% emisi karbon nasional tanpa bantuan internasional dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.

Anggaran pemerintah untuk penanganan perubahan iklim juga mulai diatur sejak 2016 dengan nilai rata-rata 4,1% terhadap PDB setiap tahunnya selama lima tahun. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut nilai tersebut setara Rp 86,7 triliun tiap tahun yang sudah disediakan pemerintah.

Kendati demikian, dia mengatakan nilai tersebut masih jauh dari kebutuhan yang sebenarnya. Indonesia membutuhkan dana Rp 3.461 triliun atau US$ 247,2 miliar hingga 2030 untuk mencapai target pengurangan emisi yang dijanjikan. "Ini pasti tidak akan memadai karena baru 41% dari kebutuhannya," ujarnya saat hadir dalam sebuah diskusi virtual, Jumat, (11/6).

Karena itu, pendanaan perubahaan iklim tidak hanya mengandalkan anggaran pemerintah namun juga penarikan dari sektor swasta. Kemenkeu juga menyiapkan mekanisme baru penerapan nilai ekonomi karbon (NEK) dan pemberlakuan pajak karbon. Hanya saja regulasi ini sampai sekarang tak kunjung rampung sejak diajukan dua tahun silam.

Sementara itu dari sisi pembiayaan, pemerintah telah menerbitkan green sukuk sejak 2018 yang di antaranya digunakan membiayai transportasi berkelanjutan, mitigasi bencana, pengelolaan limbah, akses energi sumber terbarukan, dan efisiensi energi. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga sedang menyusun kerangka kerja fiskal perubahan iklim (CCFF) untuk memperkuat pembiayaan lewat sejumlah instrumen fiskal.

Dana Moneter Internasional (IMF) juga merekomendasikan agar komposisi sumber anggaran untuk perubahan iklim 70% berasal dari sektor swasta, sementara 30% dari dana publik pemerintah. "Pemerintah dapat membantu menyediakan infrastruktur untuk mendukung penerapan teknologi rendah karbon sebagai tanggapan atas penetapan harga karbon." kata Direktur Manajer IMF Kristalina Georgieva dalam keterangan resminya, (11/7).

Komitmen negara-negara dunia terhadap penanganan perubahan iklim dan pengembangan investasi hijau berpotensi meningkatkan ekonomi dunia. Penelitan IMF menunjukkan investasi hijau dapat meningkatkan PDB global sekitar 2% pada tahun 2030 mendatang, termasuk penciptaan jutaan lapangan kerja baru.

Reporter: Abdul Azis Said