Bappenas: Ekonomi Hijau Jadi Solusi Keluar dari Jeratan Kelas Menengah
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan kembali seperti sebelum pandemi covid-19. Kondisi ini akan membuat Indonesia sulit keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah alias middle income trap.
Menteri Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan situasi ini memerlukan transformasi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Salah satunya dengan menempatkan ekonomi hijau sebagai salah satu tujuan utama. "Untuk dapat menyelamatkan Indonesia dari middle income trap 2045," ujar Suharso dalam webinar Selasa (20/4).
Ekonomi hijau berwawasan lingkungan juga dapat berpengaruh untuk mengantisipasi ancaman dari dampak perubahan iklim. Sehingga penting mendorong adanya net zero emission Indonesia.
Beberapa negaya yakni Swedia, Inggris, Perancis, Denmark bahkan Tiongkok telah menargetkan net zero emission dari 2050 hingga 2060. Pemerintah juga telah menyiapkan beberapa skenario untuk menuju ke arah net zero emission.
Setidaknya ada empat skenario yang telah disiapkan Bappenas untuk mencapai negara tanpa emisi karbon yakni pada 2045, 2050, 2060, dan 2070. "Tentunya pilihan Ini memiliki implikasi pada pola Pembangunan dan pilihan kebijakan yang harus diterapkan mulai sekarang," kata dia.
Berdasarkan hasil simulasi Bappenas menunjukkan bahwa jika Indonesia ingin mencapai puncak emisi gas rumah kaca pada 2027, maka skenario yang dipilih yakni net zero emission pada 2045 atau 2050.
Sedangkan jika puncak emisi gas rumah kaca terjadi pada pada tahun 2033 hingga 2034, maka pilihan target net zero emission antara 2060 dan 2070.
Suharso berharap supaya puncak emisi gas rumah kaca tidak bergeser jauh dari 2033 atau 2034. Hal ini mengingat pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih lambat. Setiap pergeseran setahun dapat menggeser lima hingga 10 tahun pencapaian net zero emission.
Keputusan net zero emision yang diambil ini akan mendorong percepatan transisi energi yang berkelanjutan dan terintergasi. "Berbagai skenario net emission Indonesia tentunya akan memberikan impilikasi kebijakan yang berbeda. Semakin cepat semakin baik," ujarnya.
Perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi global. Dana Moneter Internasional atau IMF mendesak para penghasil emisi karbon terbesar di dunia untuk menyetujui harga dasar karbon.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgiva mengatakan di tengah krisis karena pandemi Covid-19, negara-negara di dunia harus bergerak cepat mencegah perubahan iklim. “Ini adalah ancaman besar bagi pertumbuhan dan kemakmuran. Kebijakan ekonomi makro sangat penting untuk memerangi pemanasan global,” katanya, dilansir dari Reuters, Selasa (13/10).
Penelitian IMF menunjukkan kebijakan ekonomi yang tepat dapat mewujudkan dunia bebas emisi karbon di 2050. Dengan stimulus fiskal dari berbagai negara, kebutuhan dana untuk investasi hijau ini diperkirakan mencapai US$ 12 triliun.
Dalam laporannya pekan lalu, IMF menuliskan, pengenaan pajak karbon dapat membuat bahan bakar fosil menjadi lebih mahal. Kondisi ini akan membuat konsumen beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan. Sebaliknya, untuk membuat energi hijau lebih murah dan berlimpah, maka perlu kebijakan subsidi.
Hasil analisis IMF menunjukkan strategi kebijakan yang komprehensif memitigasi perubahan iklim dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi global dalam 15 tahun pertama masa pemulihan akibat Covid-19. Angkanya sekitar 0,7% dari rata-rata produk domestik bruto (PDB) global. Lapangan kerja yang tercipta dapat mencapai 12 juta orang.
Bencana cuaca, seperti gelombang panas, pemanasan global, kebakaran hutan, badai, kemarau, dan peningkatan jumlah topan terjadi lebih banyak setiap tahun. Badan Meteorologi Dunia atau WMO mengatakan ada 11 ribu bencana terkait cuaca, iklim selama 50 tahun terakhr. Hal ini menyebabkan dua juta kematian dan menimbulkan kerugian ekonomi sebesar US$ 3,6 triliun.
Di Indonesia, kejadian bencana cenderung meningkat pada periode 2005 hngga 2015. Kejadiannya terdiri atas bencana geologi dan hidrometeorologi. Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), hidrometeorologi mendominasi dengan 78% kejadian, termasuk banjir, gelombang ekstrem, kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, dan cuaca ekstrem.