ADB: RI Butuh Investasi Rp 230-415 Triliun Untuk Pensiunkan Dini PLTU

Katadata/Joshua Siringo Ringo
Ilustrasi penghapusan PLTU batu bara.
Penulis: Happy Fajrian
4/8/2021, 18.45 WIB

Asian Development Bank (ADB) memperkirakan untuk mempensiunkan dini 50% kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) membutuhkan biaya US$ 1-1,8 juta (Rp 14-25 miliar) per megawatt. Berdasarkan perhitungan tersebut, Indonesia membutuhkan dana Rp 230-415 triliun jika ingin mempensiunkan PLTU lebih cepat.

Dana yang dibutuhkan Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan Filipina yang "hanya" membutuhkan dana Rp 71-128 triliun, dan Vietnam sekitar Rp 128-243 triliun, karena kapasitas PLTU-nya yang besar.

ADB pun mengkoordinasikan lembaga keuangan dan investasi dunia seperti Citibank, HSBC, Prudential, hingga BlackRock, untuk merumuskan rencana dalam mempensiunkan dini PLTU di kawasan Asia, termasuk Indonesia.

Dalam inisiatif ini, ADB menawarkan model pensiun dini PLTU yang berbahan bakar batu bara, untuk diterapkan oleh negara-negara Asia yang masih bergantung pada pembangkit listrik “kotor” ini, sekaligus mengembangkan energi baru terbarukan (EBT).

“ADB berencana membentuk kemitraan publik-swasta untuk membeli PLTU dan mempensiunkannya dalam 15 tahun. Jauh lebih cepat dari usia seharusnya. Sehingga ada waktu bagi pekerja untuk pensiun atau mencari pekerjaan baru,” kata sumber yang mengetahui inisiatif ini, dikutip Reuters, Rabu (4/8).

Kemitraan publik dan swasta (public-private partnership/PPP) ini akan membentuk skema pembiayaan untuk program pengurangan karbon, yang menggunakan dana murah dari pasar ekuitas, utang, dan pinjaman lunak.

Fasilitas pembiayaan tersebut akan digunakan salah satunya untuk membeli PLTU yang akan terus beroperasi dengan biaya modal yang lebih rendah. Sehingga, menciptakan margin keuntungan yang lebih besar, namun dalam waktu yang lebih singkat, untuk menghasilkan return yang setara dengan operasi komersial.

Fasilitas pembiayaan tersebut juga akan digunakan untuk mengembangkan EBT dan fasilitas penyimpanan energi (storage) yang akan mengambil alih beban kelistrikan dari PLTU. Seiring dengan pertumbuhannya, sumber EBT ini akan mulai menarik pembiayaannya sendiri.

Menurut proposal tersebut, bank-bank pembangunan akan mengambil risiko terbesar dengan setuju untuk menanggung kerugian pertama sebagai pemegang utang sekaligus menerima return yang lebih rendah.

Dengan skema tersebut diharapkan negara-negara berkembang tertarik dan memiliki waktu untuk mengembangkan dan beralih ke EBT. ADB menargetkan model ini akan siap dipresentasikan pada konferensi iklim COP26 yang akan digelar di Glasgow, Skotlandia, pada November mendatang.

“Sektor swasta memiliki banyak gagasan cemerlang dalam menghadapi perubahan iklim. Kami menjembatani kesenjangan antara mereka dan pemerintah,” kata Wakil Presiden ADB, Ahmed M. Saeed.

Apaagi saat ini sektor perbankan, di tengah tekanan investor besarnya, mulai menarik diri dari pembiayaan pembangkit listrik batu bara baru untuk memenuhi target iklim. Saeed mengungkapkan bahwa pembelian PLTU pertama di bawah skema ini dapat dilakukan mulai tahun depan.

Sebagai bagian dari rencana tersebut, ADB telah mengalokasikan sekitar U$ 1,7 juta (Rp 24 miliar) untuk studi kelayakan di beberapa negara, termasuk di antaranya Indonesia, Filipina dan Vietnam, untuk memperkirakan biaya penutupan awal, dan aset yang dapat diperoleh.

ADB juga melakukan pendekatan kepada pemerintah dan para stakeholder terkait. "Kami ingin mengakuisisi (pembangkit batu bara) pertama pada 2022," kata Saeed. “Jika berhasil, mekanisme tersebut dapat ditingkatkan dan digunakan sebagai pola untuk wilayah lain”.

Kepala Kelompok Sektor Publik Citi-Asia Pasifik, Michael Paulus, mengatakan bahwa agar skema ini menarik, investor swasta harus terlibat.

“Ada beberapa (investor swasta) yang tertarik, tapi mereka tidak akan melakukannya dengan gratis. Mungkin mereka tidak akan menuntut tingkat return 10-12%, tapi mereka juga tidak akan menerima jika return-nya 1-2%. Kami coba mencari cara agar ini berhasil,” ujar Paulus.

Menemukan cara agar negara-negara berkembang di Asia mau meninggalkan pembangkit listrik batu bara dan beralih ke EBT merupakan tantangan berat. Badan Energi Internasional memperkirakan permintaan batu bara global naik 45% tahun ini. Simak databoks berikut:

Asia akan menyumbang 80% dari pertumbuhan itu. Pasalnya sebagian besar PLTU terdapat di kawasan ini, bahkan beberapa negara masih berencana untuk membangun pembangkit baru, seperti di Indonesia dan Vietnam.

Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyerukan agar komposisi listrik global yang dihasilkan dari pembangkit batu bara diturunkan dari 38% menjadi 9% pada 2030 dan menjadi 0,6% pada 2050.