Wamenkeu Minta Investor Global Beri Kupon Rendah pada Obligasi Hijau

Arief Kamaludin|Katadata
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara meminta kepada investor agar obligasi yang mendukung proyek perubahan iklim bisa diberi perlakuan khusus dari sisi kupon yang lebih rendah.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
28/10/2021, 12.47 WIB

Pemerintah memperkirakan butuh dana ribuan triliun untuk mencapai target pengurangan emisi karbon hingga 29% pada 2030. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara meminta investor internasional dapat membantu Indonesia mencapai target ini, dengan membeli surat utang global yang diterbitkan pemerintah. 

"Kami akan melanjutkan penerbitan obligasi hijau, dan meminta kepada internasional bahwa kita butuh dukungan kalian (menangani perubahan iklim) dan dukungan tersebut bisa dilakukan dengan kupon rendah bagi negara-negara berkembang yang mempromosikan Green dan SDG's bond," kata Suahasil dalam webinar Road to Glasgow: Indonesia's Contribution to COP26 yang digelar oleh ALUMNAS, Kamis (28/10).

Ia menyoroti perlakuan investor terhadap jenis obligasi berbasis hijau cenderung masih sama rata dengan obligasi konvensional lainnya. Hal ini masih terlihat pada tingkat kupon yang setara. Karena itu, Suahasil juga meminta agar obligasi yang mendukung proyek perubahan iklim bisa diberi perlakuan khusus dari sisi kupon yang lebih rendah.

Pemerintah hingga saat ini telah menerbitkan sejumlah obligasi hijau. Penerbitan pertama dilakukan dalam bentuk green sukuk senilai US$ 3 miliar atau setara Rp 40,9 miliar sesuai kurs saat itu. Ini tercatat sebagai penerbitan green sukuk pertama di Asia. Pemerintah kemudian menerbitkan green sukuk lagi pada Juni lalu sebesar US$ 750 juta atau Rp 10,8 triliun. Ini merupakan penerbitan keempat kalinya.

Suahasil juga mengatakan pemerintah telah memulai debut untuk penerbitan Sustainable Development Goals (SDG's) bond pada September lalu. Penerbitan SGD's bond dilakukan dengan mata uang euro sebesar 500 juta euro atau Rp 8,4 triliun. 

Ia mengatakan, baik green sukuk maupun SGD's bond berbeda dengan surat utang global seri konvensional lainnya yang sudah lebih dulu diterbitkan pemerintah. Surat utang konvensional menurutnya  hanya memerlukan underlying asset kemudian bisa menarik utang, sedangkan obligasi berkelanjutan mensyaratakan pemerintah membut laporan rutin kepada investor.

"Kalau SDG's dan Green bond ini mengharuskna kita membuat laporan kepada seluruh investor bahwa uangnya dipakai untuk aktivitas yang mendukung proyek hijau atau jenis aktivitas lainnya, dan laporan ini dibuat setiap tahun," kata Suahasil.

Indonesia dalam lima tahun terakhir telah menarik dana 4,1% terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya untuk penanganan perubahan iklim. Meski demikian, pemerintah mengakui kebutuhan pembiayaan untuk menghadapi perubahan iklim lebih besar dari alokasi yang sudah diberikan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mengatakan, Indonesia mematok target pengurangan emisi karbon sampai 29% pada tahun 2030 dengan kemampuan sendiri sesuai Nationally Determined Contributions (NDCs). Untuk mencapai target tersebut, pemerintah butuh anggaran US$ 365 miliar atau setara Rp 5.183 triliun untuk mencapai tujuan tersebut.

Indonesia  punya target lebih ambisius yakni mencapai pengurangan emisi 41% pada periode yang sama, tetapi dengan bantuan pihak lain. Sri Mulyani mengatakan, diperlukan pendanaan US$ 479 miliar atau Rp 6.801 triliun untuk mencapai target tersebut.

Reporter: Abdul Azis Said