PT Krakatau Steel Tbk bersiap menghadapi aturan ekspor anyar ke Eropa, yakni mekanisme penyesuaian batas karbon atau carbon border adjustment mechanism (CBAM). Baja menjadi salah satu komoditas yang akan diperhatikan dalam penerapan aturan tersebut.
Sebagai informasi, CBAM merupakan pengukuran harga karbon yang terkandung dalam barang yang diimpor Uni Eropa sesuai sistem perdagangan emisi UE. Importir UE akan membeli sertifikat karbon sesuai harga karbon yang seharusnya dibayarkan jika barang diproduksi di bawah aturan penetapan harga karbon tersebut.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan, aturan main itu sah untuk dilakukan. Saat ini, emiten industri baja berkode saham KRAS itu telah memiliki peta jalan untuk mencapai posisi karbon yang ideal.
"Jangan sampai latah. Kita itu kadang-kadang latah (terhadap suatu aturan), tapi lemah dalam eksekusi. Jadi, kami lebih kepada bagaimana melakukan implementasi yang lebih realistis," kata Silmy dalam paparan publik perseroan, Selasa (23/11).
Menurut Silmy, strategi pertama yang telah disiapkan perusahaan adalah infrastruktur tanur busur listrik atau electric arc furnace (EAF). Alih-alih menggunakan batu-bara sebagai sumber pemanasan, EAF menggunakan listrik dalam mencairkan bijih baca atau skrap baja.
Kedua, pembangunan panel surya apung atau floating solar panel di atas Waduk Krakatau Steel. Potensi energi maksimum dari pemasangan floating solar panel mencapai 60-80 megawatt. Pada tahap awal, KRAS akan membangun floating solar panel berkapasitas 15-20 megawatt.
Berdasarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hanya 154 mega watt (MW). Adapun, potensi energi surya di Indonesia mencapai 207,8 giga watt (GW).
Ketiga, penggunaan hidrogen dalam proses pembuatan baja. Sejauh ini, penggunaan hidrogen dalam produksi baja baru terbagi ke dua cara, yakni sebagai alat bantu reduksi bijih besi saat menggunakan blast furnace atau sebagai alat reduksi satu-satunya.
Silmy mengatakan, pihaknya sedang mempelajari implementasi penggunaan hidrogen dalam proses produksi KRAS. Oleh karena itu, implementasi strategi ini tidak dapat dilakukan dalam waktu dekat.
"Ini tidak bisa 1-2 tahun. Implementasinya di 5 tahun ke depan untuk proses (produksi baja menggunakan) hidrogen," kata Silmy.
Silmy mengatakan, ketiga strategi itu merupakan langkah yang akan KRAS lakukan untuk mengurangi ketergantungan penggunaan listrik dari energi konvensional.
Seperti diketahui, CBAM baru akan berlaku di Benua Biru pada 2026. Meski demikian, Uni Eropa (UE) akan mulai memantau informasi terkait emisi pada eksportir pada 2023-2025.
Aturan ini dapat menjadi pendapatan fiskal anyar UE dengan potensi pendapatan di rentang 5 miliar euro hingga 14 miliar euro per tahun. Komoditas yang dinilai akan terdampak adalah baja, semen, dan aluminium.