Tantangan JETP: Prioritas Transisi Energi RI Beda dengan Negara Donor

ANTARA/Galih Pradipta
Pekerja memeriksa panel listrik tenaga surya di atap Masjid Istiqlal di Jakarta, Kamis, 3 September 2020.
Penulis: Nadya Zahira
22/8/2023, 15.32 WIB

The Center for Strategic and International Studies (CSIS) menilai salah satu tantangan tersulit dalam implementasi pendanaan Just Energy Transitions Program (JETP) yaitu prioritas transisi energi Indonesia yang berbeda dengan negara-negara donor yang tergabung dalam International Partners Group (IPG).

Adapun negara-negara yang tergabung dalam IPG di antaranya Amerika Serikat (AS), Jepang, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Norwegia, Italia, serta Inggris dan Irlandia. Kemitraan ini juga termasuk Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Working Group

Untuk diketahui, Indonesia mendapatkan pendanaan transisi energi melalui JETP senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun dari negara maju yang tergabung dalam IPG, untuk 3-5 tahun ke depan.

Peneliti Ekonomi CSIS Indonesia, Novia Xu mengatakan, prioritas pemerintah Indonesia dalam melakukan transisi energi yakni, seperti pensiun dini PLTU, membangun jaringan transmisi, dan pembangunan energi terbarukan beban dasar (baseload).

Sedangkan, anggota IPG lebih memprioritaskan transisi energi terbarukan seperti surya dan bayu/angin. “Jadi investasi IPG mintanya adanya kepastian seberapa besar komitmen Indonesia untuk mengembangkan energi yang lebih terbarukan. Disini sudah kelihatan ada perbedaan,” ujar Novia di Jakarta, Selasa (22/8).

Untuk itu, Direktur Eksekutif CSIS Indonesia, Yose Rizal Damuri menilai pemerintah harus bisa menyelaraskan interest atau prioritas transisi energi dari anggota IPG dengan Indonesia. Menurut dia, hal ini harus segera diselesaikan sebelum membicarakan berbagai tindakan-tindakan lebih lanjut terkait skema pendanaan JETP.

Menurut dia, salah satu penyebab batalnya pengumuman dokumen rencana investasi dan kebijakan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) pada 16 Agustus 2023 lalu, karena tidak adanya interest yang sama antara anggota IPG dengan pemerintah Indonesia sebagai pelaksananya.

“Belum ditambah lagi dengan mekanisme yang lainnya. Tapi yang paling penting harus interesnya dulu nih yang harus disamakan,” ujarnya.

Sebagai informasi, JETP pertama kali diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021. Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam IPG.

Indonesia adalah salah satu negara yang berpotensi menerima pendanaan tersebut. Indonesia diperkirakan membutuhkan investasi transisi energi mencapai US$ 25-30 miliar atau sekitar Rp 393-471 triliun selama delapan tahun ke depan.

Proses negosiasi yang sedang dilakukan Indonesia merupakan bagian dari ekspansi JETP pada 2022. Program ini juga menyasar India, Vietnam, dan Senegal.

Sebelumnya, Afrika Selatan telah diumumkan sebagai penerima pertama program ini. Negara tersebut menerima pendanaan awal sebesar US$ 8,5 miliar melalui berbagai mekanisme, termasuk hibah, pinjaman lunak, investasi, dan instrumen berbagi risiko.

Uni Eropa dalam pernyataannya mengatakan, program JETP untuk Afrika Selatan akan dilakukan dengan pendekatan yang adil. Ini artinya mereka akan memastikan agar orang-orang yang paling terdampak, seperti para pekerja, tidak terlupakan dalam upaya untuk meninggalkan batu bara.

Reporter: Nadya Zahira