Aturan Bursa Karbon Terbit, Poin-poin Berikut Dinilai Harus Diperbaiki

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom.
Foto udara kawasan hutan lindung Jayagiri di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (16/62023).
Penulis: Nadya Zahira
25/8/2023, 13.27 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK atau POJK No.14/2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Dengan adanya aturan ini akan menjadi pedoman dan acuan perdagangan karbon melalui Bursa Karbon untuk para penyelenggara pasar.

POJK tersebut merupakan bagian dari upaya OJK untuk mendukung pemerintah dalam melaksanakan program pengendalian perubahan iklim melalui pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Tak hanya itu, POJK Bursa Karbon ini juga merupakan amanat Undang-Undang No.4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut terkait Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memberikan lima catatan yang harus diperbaiki dan diperjelas dalam aturan bursa karbon yang dirilis oleh OJK tersebut. Adapun catatannya sebagai berikut:

1. Aturan Terkait Modal yang Disetor Rp 100 Miliar

Bhima mengatakan, aturan terkait modal yang disetor Rp 100 miliar pada POJK No.14/2023 Pasal 13 sama persis seperti aturan yang dimuat dalam POJK No.3/2021. Menurut dia, Modal disetor Rp 100 miliar membuat penyelenggara bursa karbon jadi terlihat eksklusif, dan beberapa aturan juga seperti menjiplak ketentuan bursa efek.

“Apa alasannya? Padahal ekosistem nya berbeda antara bursa karbon dan bursa efek,” ujar Bhima saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (25/8).

2. Delisting

Bhima mengatakan, jika bentuk perdagangan karbon hampir sama dengan perdagangan bursa efek, dia mempertanyakan apakah dalam aturannya terdapat delisting (penghapusan suatu saham emiten di bursa) yang dapat dilakukan baik atas permintaan perusahaan yang menerbitkan saham, atau atas perintah BEI). Padahal menurut dia, perdagangan karbon tidak ada yang namanya hilang atau delisting.

3. Aturan Pasal 27 di POJK 14/2023 Masih Dipertanyakan

Bhima mengatakan, dalam pasal 27 di POJK 14/2023 terkait prinsip keterbukaan, akses yang sama, dan kesempatan yang sama, dinilai kontradiksi dengan definisi karbon sebagai efek. “Kalau bentuknya sudah jadi efek, yang akan masuk pemain bursa efek. Bagaimana dengan bursa komoditas?,” ujarnya.

4. Belum Diperjelas Siapa yang Bisa Terlibat dalam Perdagangan Karbon

Dia mengatakan, aturan bursa karbon tersebut juga belum diperjelas siapa yang bisa terlibat dalam perdagangan karbon, selain aturan soal kriteria penyelenggara. Padahal menurut dia, hal itu menjadi penting yang seharusnya dimasukan dalam aturan POJK No.14/2023.

Bhima menyarankan pemerintah untuk juga memperbolehkan komunitas untuk bisa terlibat dalam perdagangan karbon. Misalnya, mereka masyarakat adat yang menjaga hutan seharusnya bisa masuk dalam ekosistem perdagangan karbon, dan menerima manfaat dari hasil transaksi karbon.

“Jadi aturannya siapa yang bisa terlibat perdagangan karbon? Apakah individu, koperasi? Seharusnya komunitas juga bisa terlibat dalam perdagangan karbon,” kata dia.

5. Pasal 24 C Poin 8 Perlu Diperjelas

Bhima menyebutkan, pada pasal 25 C poin 8, memuat terkait penghentian perdagangan, dan kelangsungan perdagangan dalam kondisi darurat. Menurut dia, konteks yang dimaksud “darurat” tersebut tidak jelas dan tidak bisa dipahami. Sehingga pada pasal itu seharusnya bisa direvisi untuk diperjelas.

“Apa yang dimaksud darurat? Padahal karbon kan bukan kepemilikan perusahaan yang bisa pailit. Namanya karbon ya akan selalu ada, kecuali lokasi karbon nya terjadi kebakaran hutan yang mempengaruhi nilai karbon,” kata dia.

Dengan demikian, Bhima berharap pemerintah bisa merevisi dan melihat kembali terhadap aturan Bursa Karbon yang belum jelas dan lengkap, sebelum perdagangannya dilakukan.

Sementara itu, memang penyelenggara terkait Bursa Karbon ini belum ditentukan. Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi mengatakan OJK dan DPR sampai saat ini juga belum sepakat menentukan siapa yang akan menjadi penyelenggara bursa karbon di Tanah Air.

"Siapa bilang BEI, kan belum ditentukan. Bisa saja ada yang mengajukan diri untuk menjadi penyelenggara," kata Inarno, saat ditemui wartawan di Gedung DPR, Selasa (27/6) lalu.

Menurut Inarno, penyelenggara bursa karbon tidak hanya satu pihak dan sifatnya bisa terbuka. Para peminat yang memenuhi kriteria akan dilakukan uji kelayakan oleh OJK.

Reporter: Nadya Zahira