Pemerintah menunda peluncuran rencana investasi dan kebijakan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) hingga akhir 2023 dari semula pertengahan Agustus. Profesor dari Monash University, Australia, Dr. John Vong mengatakan, hal itu terjadi karena kurangnya kolaborasi antar kementerian.
“Kalau kementerian sekarang yang tanggung jawab tidak bergabung dengan kementerian lain untuk mendorong, maka JETP tidak akan bisa berjalan,” ujarnya kepada Katadata.co.id di sela acara Save The Planet: The Role of Financial Sector to Support Carbon Reduction and Electric Vehicles Development, Jakarta, Senin (25/9).
Sementara itu direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan, hambatan lainnya yang membuat pendanaan JETP belum mengucur sampai saat ini yaitu belum kuatnya regulasi energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri.
“Seharusnya idealnya UU Energi Terbarukan disahkan sebagai payung hukum pendanaan JETP. Di Afrika Selatan ada UU-nya, dan mereka koordinasi langsung di bawah presiden,” kata Bhima dihubungi secara terpisah.
Selain itu, dana JETP terlalu sedikit untuk bisa memenuhi kebutuhan transisi energi Indonesia. “Ini menjadi katalis, atau mengundang masukny skema pendanaan yang lebih besar. JETP hanya US$ 20 miliar, sedangkan kebutuhan transisi energi di Indonesia mencapai US$ 500 miliar,” ujarnya menambahkan.
Menurut dia, proyek transisi energi yang membutuhkan pendanaan cukup besar yaitu pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, pembangunan transmisi, hingga pengembangan pembangkit energi terbarukan.
Tah hanya itu, hambatan lainnya yang beresiko tertundanya pencairan dana JETP yaitu, adanya wacana dalam memasukkan pembiayaan PLTU batubara kawasan industri di dalam revisi Taksonomi Hijau.
Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan pendanaan JETP masih tertunda karena pemerintah perlu memperhitungkan PLTU batu bara yang dibangun secara mandiri oleh industri dan berada di luar sistem jaringan PLN atau captive power plant.
Fabby mengatakan, siasat pemerintah untuk mengajukan revisi target emisi yang tertulis dalam pernyataan bersama JETP merupakan langkah aktual untuk merealisasikan pendanaan transisi energi tersebut.
Menurut dia, dana US$ 20 miliar saat ini tidak cukup untuk memenuhi syarat puncak emisi dari sektor pembangkit listrik yang dipatok maksimal 290 juta ton karbon dioksida (CO2) pada 2030 karena banyaknya PLTU captive.
“Memang perlu ada peninjauan ulang karena emisi tidak hanya dari PLTU di sistem PLN, tapi juga harus memperhitungkan pertumbuhan dari captive power plant,” ujar Fabby beberapa waktu lalu, Selasa (19/9).
Fabby mengatakan, syarat angka 290 juta ton pada 2030 itu dinilai terlalu tinggi dan terbilang ambisius. Hal itu mengingat Indonesia menghitung angka emisi puncak dengan skema bisnis umumnya atau business as usual mencapai 357 juta ton CO2 pada tahun yang sama.
Dia menyampaikan, hitung-hitungan kesepakatan target maksimal keluaran emisi ketenalistrikan 290 juta ton pada 2030 antara Pemerintah Indonesia dengan negara donor JETP belum memperhitungkan pertumbuhan captive power plant dalam dua tahun terakhir.