Pemerintah dan kelompok negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) saat ini masih mengevaluasi dampak yang akan ditimbulkan akibat adanya proyek transisi energi di Indonesia, yang akan dibiayai melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar atau setara dengan Rp 310 triliun.
Senior Programs Officer ADB Indonesia Resident Mission Andrew Franciscus mengatakan, evaluasi yang dilakukan terkait dengan bagaimana dampaknya terhadap PT PLN, lalu tingkat komponen dalam negeri (TKDN), hingga regulasi kententuan tarif listrik energi baru terbarukan (EBT).
“Untuk rancangan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) saat ini sedang dikaji oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara terkait. Karena pihak pemberi dana masih ada keraguan, tapi mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa diimplementasikan,” ujar Andrew, saat ditemui di Jakarta, Rabu (27/9).
Menurut Andrew, evaluasi tersebut diperlukan karena pendanaan JETP untuk membiayai transisi energi di Indonesia harus berdasarkan keadilan. Jangan sampai pendanaan itu justru memberikan dampak negatif bagi pemangku kepentingan (stakeholders) terkait.
“Dengan adanya evaluasi ini, kami harapkan agar program JETP ini bisa terealisasi, jangan sampai ini hanya rencana tapi tidak bisa kita implementasikan,” kata Andrew.
Di sisi lain, pemerintah juga tengah memberikan perhatian khusus terhadap tarif listrik yang diprediksi akan mengalami kenaikan saat berpindah ke pembangkit listrik yang bersumber dari EBT. Pasalnya, hal itu akan berpengaruh pada keuangan PLN, hingga harga jual akhir di tingkat konsumen.
Regulasi Energi Baru Terbarukan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pendanaan JETP belum mengucur sampai saat ini karena terdapat sejumlah hambatan. Salah satunya yaitu, belum kuatnya regulasi energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri.
“Idealnya, UU Energi Terbarukan disahkan sebagai payung hukum pendanaan JETP terlebih dahulu. Di Afrika Selatan ada UU-nya, dan mereka koordinasi langsung di bawah presiden,” kata Bhima dihubungi secara terpisah.
Selain itu, dana JETP terlalu sedikit untuk bisa memenuhi kebutuhan transisi energi Indonesia. “Ini menjadi katalis, atau mengundang masuknya skema pendanaan yang lebih besar. JETP hanya US$ 20 miliar, sedangkan kebutuhan transisi energi di Indonesia mencapai US$ 500 miliar,” ujar Bhima.
Proyek transisi energi yang membutuhkan pendanaan cukup besar adalah pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, pembangunan transmisi, hingga pengembangan pembangkit energi terbarukan.
Tah hanya itu, hambatan lainnya yang berisiko menunda pencairan dana JETP adalah wacana pemerintah memasukkan pembiayaan PLTU batu bara kawasan industri di dalam revisi Taksonomi Hijau.
JETP pertama kali diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021. Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam IPG antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE).
Program pendanaan ini untuk membantu negara-negara berkembang meninggalkan energi batu bara sekaligus mendorong transisi ke penggunaan teknologi yang lebih rendah karbon.