Terumbu Karang Indonesia Bakal Diasuransikan oleh PBB

ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/aww.
Penyelam mengamati terumbu karang dan ikan di Pantai Bangsring, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (9/3/2022).
Penulis: Hari Widowati
14/12/2023, 14.09 WIB

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sedang menjajaki mekanisme asuransi untuk melindungi terumbu karang yang berada di dekat Kepulauan Gili di Indonesia, yang terletak di lepas pantai Lombok, tidak jauh dari Bali. Proyek ini merupakan sebuah langkah penting untuk perlindungan lingkungan.

Terumbu karang semakin terancam oleh perubahan iklim dan bencana alam. Misalnya, gempa bumi berkekuatan 6,9 SR yang melanda Lombok pada bulan Agustus 2018.

Menurut laporan Nikkei Asia, secara historis, setiap upaya untuk memperbaiki dan melestarikan ekosistem penting ini telah didorong oleh masyarakat dan didanai secara swadaya. Proyek asuransi baru ini akan mulai dikembangkan pada Januari 2024. Proyek ini bertujuan untuk memberikan bantuan keuangan segera untuk restorasi terumbu karang setelah bencana alam, tanpa perlu penilaian kerusakan pasca kejadian.

Inisiatif ini berusaha membangun model pendanaan yang berkelanjutan dari pemerintah Indonesia dan dana perwalian konservasi. Proyek ini juga didukung oleh Ocean Risk and Resilience Action Alliance (ORRAA) dan didanai oleh Blue Planet Fund dari pemerintah Inggris.

ORRAA menerima dukungan dari beberapa negara, termasuk Kanada, Inggris, Amerika Serikat, serta lembaga-lembaga keuangan dan organisasi-organisasi nirlaba.

Proyek ini merupakan bagian dari tren yang lebih luas di kawasan Asia Pasifik. Menurut laporan tersebut, skema asuransi yang dipicu oleh cuaca sedang dipertimbangkan atau diujicobakan oleh berbagai organisasi, termasuk Bank Pembangunan Asia (ADB) dan negara-negara G7.

Proyek-proyek ini seringkali melibatkan perusahaan asuransi swasta yang signifikan dan menawarkan premi bersubsidi atau proyek-proyek yang didukung oleh donor.

Asuransi Parametrik Lebih Tepat Sasaran

Melansir insurancebusinessmag.com, asuransi cuaca dan bencana telah ada selama beberapa dekade. Namun, akses terhadap pertanggungan ini masih terbatas, terutama bagi masyarakat yang rentan.

Dalam laporan tersebut, Jan Kellett, kepala Fasilitas Asuransi dan Pembiayaan Risiko UNDP, menekankan pada KTT Iklim PBB (COP28), perlunya asuransi di bidang-bidang ini. Walaupun, ia juga mengakui bahwa ini bukanlah solusi yang lengkap.

Menurut data IRFF, Indonesia mengalami kerugian ekonomi yang signifikan akibat bencana antara tahun 2007 dan 2018, tetapi pengeluaran pemerintah untuk tanggap darurat dan pemulihan relatif rendah. Munich Re, penyedia asuransi terkemuka di Jerman, juga mencatat kurangnya cakupan asuransi bencana di negara-negara berkembang di Asia.

IRFF berharap asuransi yang dipicu oleh parametrik yang didukung oleh donor dapat menawarkan perlindungan yang lebih tepat sasaran dan terjangkau. Asuransi parametrik memberikan pembayaran yang telah ditentukan sebelumnya ketika ambang batas iklim atau meteorologi tertentu terpenuhi.

Krishnan Narasimhan, pemimpin global untuk Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana Iklim di UN Capital Development Fund (UNCDF), menyoroti manfaat dari skema tersebut, termasuk pemasukan dana yang cepat setelah bencana.

UNCDF telah bekerja sejak tahun 2021 untuk menyediakan asuransi "tingkat mikro" di negara-negara kurang berkembang dan negara-negara kepulauan kecil. Alhasil, asuransi itu dapat diakses oleh individu dan kelompok yang secara tradisional tidak memiliki perlindungan.

UNCDF juga meluncurkan skema asuransi parametrik di Fiji, yang menawarkan pembayaran berdasarkan peringatan dini.

Pada konferensi iklim COP28 baru-baru ini di Dubai, Nikkei Asia melaporkan bahwa ADB telah memperkenalkan inisiatif asuransi mikro untuk mengatasi dampak tekanan cuaca panas pada wanita di negara-negara seperti Kamboja dan Pakistan.