Investasi hijau di Asia Tenggara mencapai US$ 6,3 miliar atau setara Rp 102 triliun pada 2023 (kurs Rp 16.231 per dollar AS), naik 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya (year on year/yoy). Indonesia menjadi penyumbang terbesar dalam investasi hijau di Asia Tenggara tahun lalu.
Data ini diungkap sebuah studi yang dirilis oleh konsultan Bain & Company dan investor negara Singapura Temasek. Kenaikan investasi hijau tersebut didorong oleh peningkatan proyek pembangkit listrik tenaga surya dan angin serta pengeluaran untuk pusat data bertenaga energi terbarukan.
Indonesia melakukan investasi hijau sebesar US$ 1,6 miliar (Rp25,9 triliun). Investasi tersebut sebagian besar untuk membiayai fasilitas daur ulang plastik polyethylene terephthalate (PET) di Jawa.
Sementara Filipina melakukan investasi sebesar US$ 1,5 miliar (Rp24 triliun). Setengah dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan fasilitas pengolahan air limbah di seluruh kotamadya, seperti Marikina, Sungai San Juan, Pasig, dan Laguna.
Singapura melakukan investasi di sektor tenaga surya besar lebih dari US$ 100 juta (Rp1,6 triliun). Akan tetapi, total investasi hijau tahun lalu adalah US$ 900 miliar (Rp14,5 triliun). Investasi tersebut hampir setengahnya dipakai untuk pembuatan fasilitas pusat data SingTel yang mengandalkan daya energi bersih.
Negara Tetangga Indonesia, Malaysia, membuat peningkatan paling signifikan dalam investasi ramah iklim dibandingkan tahun lalu. Investasi tersebut sebesar US$ 530 juta (Rp8,5 triliun) dihabiskan untuk pusat data di Johor dan Kulai yang akan didukung oleh tenaga surya.
Selain itu, Laos saat ini memilikiproyek skala besar untuk membuka potensi terbarukan yang dilakukan oleh investor asing. Proyek tersebut misalnya Monsoon Wind senilai US$692 juta (Rp11,2 triliun) yang diinvestasikan oleh ADB2, JICA3, dan 8 lainnya.
Terakhir, Vietnam menginvestasikan kurang dari US$1 miliar (Rp16,2 triliun) karena menunggu arahan dari Rencana Pengembangan Tenaga 8 (PDP8). Ini merupakan sebuah rencana induk ambisius yang saat ini sedang diselesaikan untuk merinci bagaimana ia akan mencapai komitmennya terhadap emisi nol bersih pada 2050.
Laporan tersebut juga menyoroti peluang bagi Asia Tenggara untuk mempercepat transisi hijaunya dan membuka manfaat ekonomi yang signifikan.
Laporan mengidentifikasi peluang pasar ekonomi hijau senilai US$150 miliar setara Rp 2.434 triliun (Kurs Rp 16.232 per dollar AS) di 13 ide investasi utama. Ide-ide ini menjangkau sektor-sektor seperti alam dan pertanian, listrik, transportasi, dan bangunan.