Greenpeace: Restorasi Gambut Tak Membuahkan Hasil Meski Sudah Berjalan 10 Tahun

ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/aww.
Sejumlah warga melihat lahan yang terbakar di kawasan lahan gambut Desa Deuah, Kecamatan Samatiga, Aceh Barat, Aceh, Sabtu (26/10/2024). Meskipun pihak Kepolisian Polres Aceh Barat kerap melakukan sosialisasi larangan membuka lahan dengan cara membakar, tapi pembukaan lahan baru dengan cara membakar masih sering dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan berdasarkan data Pusat Pengendalian dan Operasi (Pusdalops PB) BPBD Aceh Barat luas karhutla mencapai delapan hektare.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Agustiyanti
31/10/2024, 06.09 WIB

Greenpeace Indonesia, menilai kebijakan restorasi lahan gambut yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam 10 tahun terakhir tidak menunjukan catatan positif dalam menjaga ekosistem.

Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik mengatakan berbagai masalah yang terjadi mengakibatkan hilang atau berkurangnya lahan gambut di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Salah satunya adalah adanya kebakaran lahan gambut dan alih fungsi lahan untuk proyek food estate.

"Luas areal terbakar di Indonesia tahun 2023 mencapai 2,13 juta hektar. Dari jumlah tersebut, 1,3 juta hektar merupakan area yang sebelumnya pernah terbakar sepanjang periode 2015-2022," ujar Kiki dalam keterangan, Rabu (30/10).

Kiki mengatakan, regulasi dari pemerintah yang tidak konsisten juga menjadi salah satu faktor yang menggerus luasan lahan gambut di Indonesia. Ia mencontohkan, aturan yang memperbolehkan lahan gambut dengan kedalaman 3 meter untuk dimanfaatkan dan penerbitan izin perusahaan yang tidak transparan.

Menurutnya, transparansi data sangat penting untuk dapat memantau kebijakan pemerintah yang berpotensi merusak ekosistem dari lahan gambut di Indonesia.

"Tanpa data yang terbuka, upaya pelestarian gambut dan perlindungan lingkungan sulit terwujud. Mari kita jangan berhenti bersuara untuk mendukung lingkungan hidup, masyarakat, dan wilayah-wilayah yang tak mampu bersuara,” ujarnya

Kepala Kelompok Kerja Teknik Restorasi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Agus Yasin menilai, masih ada banyak hal yang harus dikerjakan khususnya restorasi lahan gambut.

“Kami berharap kerja-kerja restorasi gambut akan terus mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk media dan Lembaga swadaya masyarakat. Tujuannya, agar program restorasi ini bisa terus berlanjut,” ujar Agus.

Badan Restorasi Gambut atau BRGM dibentuk pada pada 2016 melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 dan mendapatkan mandat untuk merestorasi gambut kritis di tujuh provinsi prioritas, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua. Sepertiga dari kebakaran  hutan dan lahan (karhutla) besar-besaran pada 2015 yang menghanguskan 2.611.411 hektare merupakan lahan gambut.

AdapunStrategi yang dikedepankan untuk melakukan restorasi ini dikenal dengan istilah 3R yaitu rewetting, revegetation, dan revitalization.

Rewetting merupakan tindakan pembasahan kembali, revegetasi merupakan tindakan untuk menanami kembali lahan melalui persemaian, penanaman dan regerenasi alami, sedangkan revitalisasi bertujuan untuk meningkatkan ksejahteraan dan perekonomian masyarakat melalui pengelolaan lahan berkelanjutan.

Mandat BRG dalam Perpres 1/2016 selama jangka waktu lima tahun diperpanjang melalui Perpres Nomor 120 tahun 2020 dengan ditambah satu tugas lagi untuk merestorasi mangrove. Melalui Perpres 120/2020 ini BRG kemudian menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang akan bertugas selama lima tahun hingga 2024.

Reporter: Djati Waluyo