Aruki : RI Harus Berani Tekan Negara Maju untuk Penuhi Komitmen Pendanaan Iklim
Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Iklim (Aruki) meminta pemerintah, yang mewakili Indonesia dalam perhelatan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) perubahan iklim (COP) 29, berani menekan negara maju dalam memenuhi komitmen pendanaan iklim. Hal itu termasuk meningkatkan pendanaan hibah untuk mitigasi, adaptasi, serta kehilangan dan kerusakan.
Sebagaimana dikethui, Aruki merupakan aliansi 30 organisasi masyarakat sipil yang dibentuk untuk mendorong terwujudnya Undang-Undang Keadilan Iklim.
Koordinator Program pada Divisi Program Tanggap Bencana dan Ketangguhan Warga (Yappika), Indira Hapsari, mengatakan pendanaan iklim global meningkat, namun mayoritas masih dalam bentuk hutang. Jumlah utang untuk pendanaan iklim di tahun 2021-2022 mencapai lebih dari US$ 561 miliar.
Sedangkan pendanaan adaptif hanya sebagian kecil. Dari total US$ 1.3 triliun, pendanaan adaptif hanya mencapai US$ 63 miliar.
"Oleh sebab itu pada negosiasi New Collective Quantified Goals (NCQG), pemerintah Indonesia harus memastikan komitmen negara maju dan pendanaan iklim juga dialokasikan pada mitigasi serta kehilangan dan kerusakan, serta tidak menggunakan skema hutang yang menambah beban dan kerugian bagi masyarakat rentan, terpinggirkan serta generasi mendatang," ujarnya melalui keterangan tertulis, dikutip Selasa (12/11).
Selain itu, Aruki juga merekomendasikan empat hal lainya yang harus menjadi fokus perwakilan Indonesia dalam perhelatan COP 29 yang diselenggarakan di Baku, Azerbaijan. Pertama, Pemerintah Indonesia harus berani berkomitmen dan memimpin agenda pembangunan dan ekonomi yang sejalan dengan target menahan naiknya suhu muka bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celcius.
Plt Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Syaharani, mengatakan menjaga suhu bumi di bawah 1.5 derajat celcius hanya dapat dilakukan melalui komitmen tegas untuk menghentikan penggunaan energi fosil dan melindungi ekosistem. Pertemuan COp sebelumnya juga telah memberikan rekomendasi untuk meningkatkan bauran energi terbarukan hingga tiga kali lipat di tahun 2030.
Maka dari itu, dia mengatakan, pemerintah Indonesia harus mendorong komitmen bersama mengakhiri penggunaan energi fosil dalam negosiasi COP29. Indonesia juga harus mendorong perlindungan ekosistem, dan mempercepat pengembangan energi terbarukan.
"Ini termasuk dengan tidak menggunakan sumber energi dan teknologi yang memperpanjang energi fosil seperti co-firing PLTU, produksi bioenergi skala besar, dan CCS,” ujar Syaharani.
Rekomendasi ketiga adalah, pemerintah Indonesia harus tegas menyatakan komitmen terhadap perlindungan dan pemulihan ekosistem sebagai unsur kunci untuk menunjang adaptasi. Menurut Global Forest Watch, Indonesia masih mengalami deforestasi sebesar lebih 1.3 juta hektar pada 2023.
Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, mengatakan tekanan industri ekstraktif dan perluasan komoditi ditengarai sebagai pendorong utama deforestasi sebesar 1.1 juta hektar. Sejumlah peristiwa cuaca ekstrem menjadi bencana akibat rusaknya ekosistem hulu yang porak poranda akibat industri pertambangan.
Salah satunya terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, yang mengalami banjir bandang pada Juli 2024. Ini merupakan fakta rusaknya ekosistem akibat tekanan industri ekstraktif.
“Untuk membangun ketahanan iklim, tidak ada ekosistem dan ruang hidup warga yang dapat dikorbankan. Perlindungan ekosistem adalah prasyarat mutlak terciptanya ketahanan dan adaptasi dampak perubahan iklim,” ujar Torry.
Rekomendasi keempat adalah, Pemerintah harus mampu mendorong agenda redistribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya, menuju keadilan yang menjadi syarat utama ketahanan iklim rakyat. Krisis iklim yang disebabkan oleh ketimpangan akses sumber daya telah berdampak terhadap kerusakan dan kehilangan, keselamatan serta kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Hal ini dapat menambah beban dan kerentanan masyarakat miskin, termasuk ketidakadilan gender dan ketidakadilan antargenerasi.
Data Bank Dunia menunjukkan hanya 20% kelompok kaya yang menguasai total 46% ekonomi Indonesia dan terus mengalami pertumbuhan pendapatan sementara sisanya malah turun. Sedangkan dari sisi penguasaan tanah, WALHI dan Auriga mencatat, hanya 2,7 juta hektare dari 53 juta hektare penguasaan lahan diberikan pemerintah yang diperuntukan bagi rakyat.
Rekomendasi kelima adalah pemerintah Indonesia harus melindungi kelompok rentan dan memastikan keterlibatan bermakna masyarakat termasuk dengan melibatkan perempuan, orang muda, masyarakat adat, petani gurem, nelayan kecil dan tradisional, buruh, kelompok disabilitas, dan masyarakat rentan lain dalam mitigasi dan adaptasi.
Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: