Edisi Khusus | Masyarakat Adat

Pendanaan Iklim Harus Menyasar Langsung ke Masyarakat Adat

COP30 Brasil Amazonia/Aline Massuca
Perwakilan masyarakat adat dari seluruh dunia ikut meramaikan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP30 di Kota Belem, Brasil, pada Selasa (11/11).
17/11/2025, 15.22 WIB

Mobilisasi dana iklim dari negara-negara maju dituntut harus menyasar langsung ke masyarakat adat.

Manager Knowledge Working Group ICCAs Indonesia (WGII) Lasti Fardilla Noor mengatakan saat ini sistem pendanaan iklim masih terlalu kompleks, birokratis, dan berbasis proyek. Ini membuat masyarakat adat dan komunitas lokal sulit mengakses dukungan yang seharusnya mereka terima secara langsung. 

“Padahal, Masyarakat Adat dan komunitas lokal adalah kelompok yang paling terdampak sekaligus garda terdepan dalam perubahan iklim,” katanya, dalam diskusi "Bridging the Climate Finance Gap: Make the Global North Deliver”, di sela-sela COP30 Brasil.

Lasti mengatakan pendanaan iklim yang besar tidak akan berarti apa-apa jika masyarakat adat dan komunitas lokal tidak bisa memperoleh akses dan merasakan manfaatnya. Karena itu dia mendorong, peralihan mekanisme pendanaan iklim yang lebih inklusif, adil, dan menghormati hak-hak komunitas lokal.

Lasti mencontohkan pendanaan iklim Dana Nusantara yang diinisiasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Mekanisme Dana Nusantara dirancang sangat sederhana untuk mempermudah akses namun tetap berpegang pada standar akuntabilitas. Penerima dana bukanlah objek program melainkan subjek yang merancang dan mengimplementasikan upaya dan inisiatif dalam menjawab permasalahan, urgensi, kebutuhan, dan situasi unik masing-masing. Dengan demikian, pendanaan iklim bermanfaat secara langsung hingga tingkat tapak.

Senada, Presiden Eksekutif Rural Reconstruction Nepal, Arjun Kumar mendorong pendanaan iklim langsung dan berbasis hibah bagi negara-negara berkembang. Menurutnya, pendanaan iklim dalam skema utang akan sangat membebani negara-negara berkembang. 

“Pendanaan tersebut haruslah tidak menciptakan utang. Pendanaan publik berbasis hibah sangatlah penting, karena pendanaan swasta berorientasi pada keuntungan dan seringkali gagal memprioritaskan kebutuhan masyarakat untuk beradaptasi, menanggung kerugian, dan kerusakan,” katanya. 

Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, Nadia Hadad mengingatkan komitmen pendanaan iklim dari negara-negara maju. Menurutnya, pendanaan iklim dari negara-negara maju merupakan konsekuensi dari sejarah emisi dan perebutan anggaran karbon dari negara-negara industri.

“Pendanaan iklim bukan sedekah melainkan memang kewajiban,” katanya.

Nadia mengingatkan target pendanaan iklim sebesar US$100 miliar per tahun tak pernah terpenuhi, sementara kesepakatan baru NCQG menetapkan komitmen minimal US$300 miliar per tahun pada 2035 serta upaya global memobilisasi hingga US$1,3 triliun. Untuk itu, ia mendesak Indonesia sebagai anggota G20 dan BRICS harus terlibat mendorong pemenuhan komitmen pendanaan iklim global tersebut dan tidak semata mengandalkan kanal bilateral.

“Harusnya Indonesia juga ikut mendorong, agar negara maju bisa memenuhi komitmen tersebut, untuk membiayai pendanaan iklim, membiayai aksi-aksi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan, tidak hanya untuk negara selatan tapi memang untuk kepentingan dunia,” kata Nadia.

Pada COP29 tahun lalu di Baku, Azerbaijan, Nadia menilai angka pendanaan iklim yang disepakati sangat rendah. Awal bulan ini, Presidensi COP Azerbaijan dan Brasil merilis Peta Jalan Baku-Belem yang menguraikan jalur untuk mencapai target pendanaan iklim minimal US$1,3 triliun pada 2035. 

Pendanaan ini dibutuhkan untuk transisi energi bersih; langkah-langkah adaptasi dan ketahanan; kerugian dan kerusakan; pelestarian hutan, lautan, dan keanekaragaman hayati; dan untuk transisi yang adil dari bahan bakar fosil di negara-negara berkembang. 

“Tentu saja, dibutuhkan komitmen dan tindakan bersama dari negara-negara, bank pembangunan multilateral, dan pelaku sektor swasta untuk mewujudkan skala pendanaan yang diperlukan ini,” kata Nadia.

Namun, dia menilai negara-negara kaya telah berulang kali mengabaikan tanggung jawab mereka meskipun menjadi penyumbang utama emisi pemanasan global. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Nuzulia Nur Rahmah