Pengertian Inflasi dan Indikator Pembentuknya

ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA
Aktivitas jual beli di Pasar Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Kamis (1/8/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju Inflasi Juli 2019 mencapai sebesar 0,31 persen dengan inflasi tahun kalender 2,36 persen dan inflasi tahun ke tahun mencapai 3,32 persen.
Penulis: Muchamad Nafi
2/9/2019, 06.05 WIB

5. Kelompok kesehatan,

6. Kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga,

7. Kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan.

Selain tujuh kelompok inflasi tersebut, BPS membuat klasifikasi yang lain, yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.

Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK dikelompokan menjadi inflasi inti dan inflasi non-inti.

Inflasi Inti yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakannya. Inflasi ini dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran, lalu lingkungan eksternal seperti nilai tukar, harga komoditi internasional, dan inflasi mitra dagang. Selain itu ada pengaruh dari ekspektasi pedagang dan konsumen.

Inflasi non-inti yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya. Hal ini dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Ada dua komponen inflasi non-inti.

(Baca: Harga Cabai Melambung, Ada yang Mencapai Rp 100 Ribu per Kilogram)

Pertama, inflasi komponen bergejolak (volatile food) yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan. Sebagai contoh menyangkut panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun internasional.

Keduam inflasi komponen harga yang diatur pemerintah atau administered prices. Inflasi ini dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif angkutan, tarif listrik, dan yang lainnya.

Di pengujung 1990-an, inflasi Indonesia sempat membubung begitu tinggi, yakni sewaktu peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Kerusuhan yang terjadi di seluruh Indonesia usai tumbangnya Presiden Soeharto memicu inflasi  77,63% pada 1998. Lihatlah grafik pada Databoks berikut ini:

Saat itu terjadi lonjakan harga barang-barang diikuti melemahnya nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat. Hal ini membuat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi lebih dari 13 % pada 1998.

Kemudian, pada 1999, laju inflasi turun menjadi hanya 2 % . Ini juga merupakan angka inflasi terendah setelah berlangsungnya reformasi. Dalam 20 tahun terakhir, inflasi tertinggi tercatat pada 2005 yang mencpaai 17,1 % dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak di era kepemimipinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sepanjang periode 2015-2017, yakni di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, laju inflasi selalu di bawah 4 %. Hingga April 2018, inflasi domestik tercatat sebesar 3,41 % (YoY). Adapun untuk inflasi tahun kalender periode Januari-April 2018 baru mencapai 1,09 %.

Sementara pada tahun ini, BPS mencatat inflasi Juli 2019 sebesar 0,31 %, lebih rendah dari inflasi bulan sebelumnya yang mencapai 0,55 %. Dari 82 kota yang disurvei, 55 kota mengalami inflasi dan 27 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Sibolga sebesar 1,88 %. Lihat kembali grafik Databoks di bawah ini:

Inflasi terjadi karena ada kenaikan harga dari indeks kelompok pengeluaran, antara lain kelompok bahan makanan 0,8 % serta kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesar 0,24 %. Pengeluaran untuk kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 0,14 %. 

Adapun pengeluaran kelompok sandang sebesar 0,7 %, kelompok kesehatan 0,18 %, serta kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga sebesar 0,92 %. Dengan pergerakan angka-angka tersebut, tingkat inflasi tahun kalender pada Januari-Juli 2019 sebesar 2,36 %, sedangkan tingkat inflasi tahunan (yoy) sebesar 3,32 %.

Halaman: