Membayar pajak sudah menjadi kewajiban bagi warga negara yang segala ketentuannya sudah termaktub dalam undang-undang. Di Indonesia, terdapat beberapa jenis pajak yang berlaku, salah satunya adalah Pajak Penghasilan (PPh).
Sesuai dengan aturan yang berlaku, jenis pajak ini dibagi menjadi PPh Pasal 21, 22, 23, 24, dan 25. Pada artikel kali ini akan dibahas lebih dalam terkait PPh 23 dan cara menghitungnya.
Sekilas Tentang PPh
Dalam sistem perpajakan Indonesia, pungutan atas penghasilan modern dimulai dari dikenalkannya Pajak Penghasilan 1920 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kemunculan pajak ini diikuti oleh Pajak Perseroan 1925, yang secara khusus mengatur perpajakan untuk badan usaha.
Pasca-kemerdekaan, ketentuan perpajakan atas penghasilan masih mengacu pada aturan pajak-pajak yang sebelumnya ditetapkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Perubahan signifikan terlihat dari munculnya Pajak Pendapatan pada 1957, di antaranya pengenalan mekanisme membayar pajak sendiri (MPS). Mekanisme ini merupakan cikal bakal sistem self assesment yang berlaku hingga saat ini.
Pasca-reformasi 1998, peraturan perpajakan, khususnya PPh, terus mengalami perubahan mengikuti dinamika perkembangan zaman. Pada awal-awal masa reformasi, yakni pada masa pemerintahan transisi dari Presiden Soeharto ke Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, kebijakan terkait perpajakan belum banyak berubah. Perubahan kebijakan mulai dilakukan pada tahun 2000.
Pengertian PPh 23
Mengutip pajak.go.id, PPh 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Aturan ini tertulis dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Subjek pajak yang dikenai tarif PPh 23 adalah wajib pajak orang pribadi yang ada di dalam negeri dan berbentuk usaha tetap.
Sementara, pihak yang bisa memotong PPh pasal 23 adalah badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, bentuk usaha tetap, orang pribadi dan penyelenggara kegiatan, perwakilan perusahaan luar negeri yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak.
Cara Menghitung PPh 23
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), tarif PPh 23 dibedakan menjadi dua jenis. Perbedaan tersebut didasarkan pada objek yang dikenakan pajak penghasilan 23.
Tarif dari pajak penghasilan 23 dikenakan atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto dari penghasilan. Di dalam PPh Pasal 23, terdapat dua jenis tarif yang diberlakukan, yaitu 15% dan 2% tergantung dari objek pajaknya. Berikut penjelasan dari masing-masing tarif.
1. Tarif 15%
PPh 23 dengan tarif 15% wajib dibayarkan oleh WP dari jumlah bruto atas dividen, bunga, royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus, atau sejenisnya, selain yang belum dipotong oleh PPh 21.
Dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36 Tahun 2008 tentang PPh, dividen yang dimaksud termasuk dividen yang diterima oleh pemegang polis asuransi serta pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Sedangkan bunga adalah diskonto, premium, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. Sementara yang dimaksud dengan royalti adalah imbalan atas penggunaan hak.
Cara menghitung PPh 23 tarif 15% bisa dilihat dari contoh berikut:
Pak Anto menerima royalti atas hak yang digunakan sebesar Rp10.000.000, maka jumlah PPh yang harus dibayarkan adalah: 15% x Rp10.000.000 = Rp1.500.000.
2. Tarif 2%
Wajib pajak diwajibkan melunasi PPh sebesar 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain terkait penggunaan harta.
Adapun sewa dan penghasilan lain yang bersumber dari penggunaan tanah dan bangunan dikecualikan dari pajak ini, yang dasar hukumnya dapat ditemukan pada pasal 4 ayat (2) bagian d.
Tarif pajak PPh 23 dengan tarif 2% juga berlaku untuk jumlah bruto dari imbalan jasa, di antaranya jasa teknik, konstruksi, manajemen, konsultan, penilai, akuntansi, jasa hukum, jasa penerbitan/percetakan, dan jenis jasa lainnya seperti yang diatur dalam peraturan Menteri Keuangan.
Untuk penghitungan PPh 23 dengan tarif 2%, berikut contohnya:
PT XYZ adalah sebuah badan usaha tetap yang menerima jasa merancang busana dengan jumlah bruto Rp15.000.000. Dengan demikian, jumlah PPh 23 yang dibayarkan, yaitu 2% x Rp15.000.000 = Rp300.000.
Pengecualian Pengenaan PPh 23
Mengutip pajakku.com, meskipun PPh 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa bunga, royalti, sewa, jasa, dan hadiah selain yang telah dipotong oleh PPh 21, terdapat beberapa hal yang dikecualikan dalam PPh 23, di antaranya:
- Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
- Sewa yang terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
- Dividen yang diperoleh PT yang bertempat tinggal di Indonesia yang berasal dari cadangan laba yang ditahan sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi dan BUMN/BUMD.
- Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya.
- Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.
Penyetoran dan Pelaporan PPh 23
Terkait penyetoran, PPh Pasal 23 paling lama disetorkan tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Misalnya 10 Maret 2020, maka paling lambat disetorkan pada 10 April 2020.
Sementara pelaporannya wajib dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Misalnya 10 Maret 2020, maka paling lambat PPh 23 disetorkan pada 10 April 2020 dan dilaporkan paling lambat 20 April 2020.
Ketentuan Terutang, Penyetoran dan Pelaporan PPh 23
- PPh 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
- PPh 23 disetor Pemotong Pajak paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
- SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir.
Apabila jatuh tempo batas akhir pelaporan atau penyetoran PPh Pasal 23 bertepatan dengan hari libur, termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.