AG Divonis Penjara, Simak Penerapan Pidana dan Pembinaan Khusus Anak

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/tom.
Tersangka Mario Dandy Satrio (kiri), Shane (kanan), dan pemeran pengganti tersangka AG (tengah) memperagakan adegan saat rekonstruksi kasus penganiayaan Cristalino David Ozora di Perumahan Green Permata Residance, Pesanggrahan, Jakarta, Jumat (10/3/2023). Rekonstruksi tersebut memperagakan 40B adegan kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora.
Penulis: Dini Pramita
13/4/2023, 09.55 WIB

AG (15) divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus penganiayaan berencana terhadap Cristalino David Ozora oleh Mario Dandy pada Senin (10/4) lalu. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa umum yang menuntut hukuman empat tahun penjara.

AG diyakini melanggar Pasal 355 ayat 1 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP yaitu tindak pidana penganiayaan berat rencana terlebih dahulu dan sebagai orang yang membantu melakukan kejahahan tanpa mencegah. Hakim menyatakan tak ada alasan pembenar dan pemaaf atas perbuatan AG.

Hakim tunggal Sri Wahyuni Batubara menyebutkan hal yang memperingan AG adalah karena usianya yang masih 15 tahun sehingga diharapkan dapat memperbaiki diri. AG yang masih di bawah umur akan menjalani masa pidananya dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

SIDANG VONIS KASUS PENGEROYOKAN DAVID (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/tom.)


Mengenal Istilah dalam Sistem Peradilan Anak

Sistem peradilan anak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam UU SPPA, posisi anak dalam hukum dibagi menjadi beberapa kategori sesuai dengan posisinya dalam perkara hukum yang melibatkan anak itu.

Istilah itu adalah:
- Anak yang Berhadapan dengan Hukum mengacu pada anak yang berkonflik dengan hukum, menjadi korban tindak pidana dan menjadi saksi tindak pidana.
- Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang berumur 12-18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
- Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana yang disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh sebuah tindak pidana.
- Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana yang kerap disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang tindak pidana yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri.

Dalam UU SPPA juga dikenal adanya keadilan restoratif. UU itu memaknai keadilan restoratif sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, dan keluarga kedua belah pihak serta pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali, bukan pembalasan.

Ada pula istilah diversi dalam UU SPPA yang mengacu pada penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Sistem Peradilan Anak di Indonesia

Mengacu pada UU SPPA, dalam pasal 2 dan 3 ditekankan sistem peradilan anak dilaksanakan berdasarkan berbagai asas, mulai dari perlindungan, keadilan, non-diskriminasi, hingga penghindaran pembalasan. Dalam kedua pasal itu ditekankan pula perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir.

Penangkapan, penahanan dan pemidanaan dilakukan sebagai upaya terakhir dan dilakukan dalam waktu yang singkat. Meskipun divonis bersalah, anak tidak boleh dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.

UU SPPA menyatakan sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Sebab itu disebutkan proses hukum yang berlangsung wajib menghindari pembalasan, hanya dilakukan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan wajib mengupayakan adanya diversi pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara.

Adapun diversi yang dimaksud diatur dalam bab II UU SPPA yang menyebutkan diversi bertujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, hingga menanamkan rasa tanggung jawab pada anak.

Diversi dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal antara lain kategori tindak pidana yang melibatkan anak, dan usia anak. Upaya diversi itu dilakukan untuk kejahatan pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana yang dilakukan anak.

Proses peradilan anak dilanjutkan dalam hal proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan. Dalam proses peradilan anak, penyidik, penuntut umum dan hakim wajib memberikan perlindungan khusus bagi anak yang diperiksa apabila tindak pidana dilakukan dalam situasi darurat yang dilaksanakan melalui sanksi tanpa pemberatan.

Penahanan terhadap anak untuk kepentingan penyidikan hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berusia 14 tahun dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Penahanan dapat dilakukan paling lama tujuh hari dan dapat diperpanjang paling lama delapan hari.

Untuk kepentingan penuntutan, penahanan dapat dilakukan paling lama lima hari dan diperpanjang paling lama lima hari. Sementara untuk kepentingan pemeriksaan persidangan, hakim dapat melakukan penahanan paling lama 10 hari dan dapat diperpanjang paling lama 15 hari.

Untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, hakim banding dapat melakukan penahanan paling lama 10 hari dan dapat diperpanjang paling lama 15 hari. Di tingkat kasasi, penahanan untuk pemeriksaan dilakukan paling lama 15 hari dan dapat diperpanjang paling lama 20 hari.

 

 

Penerapan Pidana

Dalam UU SPPA disebutkan anak yang belum berusia 14 tahun tidak dapat dikenai pidana, hanya dapat dikenai tindakan. Apabila dalam hukum materiil terdapat hukuman kumulatif berupa penjara dan denda, denda tersebut diganti dengan pelatihan kerja.

Ada berbagai jenis pidana. Pidana pembinaan di luar lembaga, yang berupa keharusan untuk mengikuti terapi tertentu dan mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan pejabat pembina. Pidana pelayanan masyarakat adalah pidana yang dimaksudkan untuk mendidik anak dan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif.

Ada pula pidana pengawasan yang menempatkan anak di bawah pengawasan penuntut umum dan dibimbing oleh pembimbing kemasyarakatan. Pidana pelatihan kerja dilaksanakan oleh anak dalam lembaga pelatihan kerja yang disesuaikan dengan usia anak.

Sementara itu, pidana penjara atau pembatasan kebebasan hanya dapat diberlakukan jika anak melakukan tindak pidana berat atau pidana yang disertai dengan kekerasan. Masa pidana yang diberlakukan menurut UU SPPA, paling lama 1/2 dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.

Apabila tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana yang diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, pidana penjara yang dijatuhkan untuk anak paling lama 10 tahun.

Anak akan ditempatkan dalam pidana di dalam lembaga pembinaan atau pelatihan kerja jika perbuatannya dianggap tidak membahayakan masyarakat dan dilaksanakan paling singkat tiga bulan, paling lama dua tahun.

UU SPPA mengatur anak dijatuhi pidana penjara apabila perbuatannya membahayakan masyarakat dan dianggap sebagai upaya terakhir. Anak yang dijatuhi pidana penjara itu akan ditempatkan dalam LPKA.

Pembinaan di LPKA dapat dilaksanakan sampai anak berusia 18 tahun. Ketika anak telah berusia 21 tahun namun belum selesai menjalani pidananya, ia akan dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa. Selain itu, anak yang telah menjalani 1/2 hukumannya dan berkelakukan baik, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

Di dalam LPKA, anak menjalani kegiatan pembinaan dengan didampingi pembimbing kemasyarakatan (PK). Adapun pembinaan tersebut mencakup pembinaan kepribadian, pembinaan kemandirian, dan pendidikan formal dan non formal seperti sekolah paket A, B, dan C.