Pengunduran diri Mahathir Mohamad dari kursi perdana menteri Malaysia membuat politik di negara jiran tersebut bergejolak. Koalisi Pakatan Harapan bubar. Kini, Malaysia menunggu terbentuknya kabinet baru dan pengganti pria yang kerap disapa Datuk M itu.
Raja Malaysia Yang Dipertuan Agung Abdullah telah menerima surat pengunduran diri Mahathir, Senin (24/2). Ia menyetujui permintaan tersebut tetapi meminta Mahathir menjadi Pelaksana Tugas (ad interim) Perdana Menteri hingga terpilihnya PM yang baru. "Mahathir akan menjalankan urusan negara sampai PM dan kabinet yang baru ditunjuk," ujar Kepala Sekretaris Negara Mohd Zuki Ali, dalam pernyataan tertulis, seperti dikutip The Jakarta Post.
Pengunduran diri Mahathir disebut-sebut sebagai buntut dari perseteruannya dengan Presiden Partai Keadilan Rakyat (PKR) Anwar Ibrahim dan perpecahan di koalisi Pakatan Harapan. Minggu (23/2) lalu, Mahathir dikabarkan melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh politik, termasuk dari UMNO, untuk mempersiapkan kabinet baru tanpa melibatkan Anwar. Namun, kabar tersebut justru dibantah oleh Anwar.
"Itu bukan beliau (Mahathir), nama beliau digunakan oleh orang-orang di dalam partai saya dan pihak luar. Beliau menjelaskan tidak akan mungkin kembali bekerja sama dengan orang-orang yang terhubung dengan rezim lampau," kata Anwar dalam konferensi pers di kantor Dewan Pimpinan Pusat PKR, di Petaling Jaya, seperti dikutip Malaysiakini, Senin (24/2).
Setelah mengumumkan pengunduran dirinya, Mahathir bertemu dengan beberapa tokoh politik, termasuk Anwar Ibrahim dan Sekretaris Jenderal Partai Aksi Demokrasi Malaysia Lim Guan Eng. Mereka meminta Mahathir membatalkan niatnya untuk mengundurkan diri tetapi Mahathir telanjur geram. Ia tak mau namanya dikaitkan dengan partai korup dan gerakan politik terselubung. Mahathir berprinsip untuk tetap melanjutkan agenda reformasi yang berjalan sejak koalisi Pakatan Harapan menang dalam Pemilihan Umum 2018.
(Baca: Kisruh Politik Malaysia, Perdana Menteri Mahathir Mengundurkan Diri)
Manuver politik yang dimaksud Mahathir adalah tindakan yang dilakukan Menteri Koordinator Perekonomian yang juga mantan Wakil Presiden PKR, Mohamad Azmin Ali. Ia bersama Ketua Partai Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM) Muhyiddin Yassin dan petinggi oposisi koalisi Barisan Nasional, Partai Islam SeMalaysia (PAS), Gabungan Partai Sarawak (GPS), dan Partai Warisan mengadakan rapat pada Minggu (23/2) malam.
Pertemuan yang mencatut nama Mahathir itu membuat situasi politik memanas dan mengundang kemarahan dari para pendukung Anwar Ibrahim. Mereka menuding Mahathir berkhianat dan ingin terus berkuasa. Padahal, sebelum Pemilu 2018 ia berjanji akan mengalihkan tampuk kepemimpinan kepada Anwar.
(Baca: PM Mahathir Mohamad Mengundurkan Diri, Bursa Saham Malaysia Turun 2,5%)
Dokter yang Banting Setir ke Dunia Politik
Mahathir lahir di Alor Setar, Kedah pada 20 Desember 1925. Ayahnya adalah seorang guru di sekolah setempat. Ia menempuh pendidikan di Sutan Abdul Hamid College dan University of Malaya di Singapura di jurusan kedokteran. Seperti dikutip dari Britannica.com, Mahathir bekerja sebagai dokter militer setelah lulus pada 1953 hingga 1957. Setelah itu, ia membuka praktik sendiri.
Mahathir mulai terjun ke dunia politik pada awal 1960-an. Ia terpilih menjadi anggota parlemen dari Partai United Malays National Organization (UMNO) pada 1964. Pada saat itu, UMNO adalah partai terbesar dalam pemerintahan. Namun, Mahathir dikeluarkan dari UMNO pada 1969 lantaran berselisih dengan Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman.
Pangkal perseteruan itu adalah semangat Mahathir untuk memperjuangkan kesetaraan hak etnis Melayu di Malaysia. Meskipun dominan di bidang politik, etnis Melayu di Malaysia tertinggal dari etnis Cina dalam hal ekonomi. Hal ini dituangkannya dalam buku The Malay Dilemma, yang kemudian dilarang beredar oleh PM Tunku Abdul Rahman dan UMNO.
Mahathir kembali bergabung dengan UMNO pada 1970. Pemerintah Malaysia kemudian mengadopsi Kebijakan Ekonomi Baru pada 1971 untuk memperbaiki kondisi ekonomi dengan lebih banyak melibatkan etnis Melayu, sebagaimana ide-ide Mahathir. Ia terpilih menjadi anggota Mahkamah Agung pada 1972 dan anggota Parlemen pada 1974.
Pada akhir 1974, ia ditunjuk menjadi menteri pendidikan Malaysia. Karier Mahathir terus menanjak. Ia menjadi wakil perdana menteri pada 1976 dan pada Juni 1981 terpilih sebagai presiden UMNO.
Mahathir terpilih menjadi PM Malaysia pada Juli 1981. Masa jabatan PM Mahathir yang berlangsung selama 22 tahun memberikan stabilitas politik yang dibutuhkan oleh pertumbuhan ekonomi Malaysia. Ia menyambut masuknya investasi asing, mereformasi struktur pajak, mengurangi tarif bea masuk, dan memprivatisasi sejumlah perusahaan negara. Dana yang didapatkan dari kebijakan tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan para pekerja.
Seperti dilansir Biography.com, pada 1988-1996 Malaysia mencatat rerata pertumbuhan ekonomi 8% per tahun. Mahathir meluncurkan rencana ekonomi yang disebut sebagai The Way Forward atau Visi 2020. Menurut rencana tersebut, Malaysia akan menjadi negara maju pada 2020.
Di bawah kepemimpinannya, Malaysia berhasil mengubah basis perekonomiannya dari sektor pertanian dan sumber daya mineral ke sektor manufaktur dan ekspor. Pendapatan per kapita Malaysia pun naik dua kali lipat pada 1990-1996.
Krisis Finansial Asia, Awal Perseteruan dengan Anwar
Ketika krisis finansial di Asia pecah pada 1997-1998, Malaysia tidak luput dari dampaknya. Penanganan krisis ini menimbulkan perpecahan antara Mahathir dengan Wakil PM dan Menteri Keuangan Malaysia Anwar Ibrahim. Anwar mendukung kebijakan pasar terbuka dan investasi asing, sedangkan Mahathir cenderung mengambil langkah proteksi ekonomi dari campur tangan negara-negara barat.
Pada 1998, Anwar dipecat dari jabatannya dan dipenjarakan. Hal ini memicu gelombang unjuk rasa antipemerintah di seluruh Malaysia. Dakwaan dan vonis hukuman penjara yang dijatuhkan kepada Anwar membuat para pengunjuk rasa mendesak Mahathir mundur. Namun, Mahathir mampu menekan pengaruh para pendukung Anwar dengan mengonsolidasikan kekuatan politiknya.
Ketika terjadi tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS), Mahathir mendukung adanya upaya global untuk memerangi terorisme. Meski begitu, ia menentang keras ketika AS melakukan invasi ke Irak pada 2003. Mahathir selalu menjadi sosok kontroversial karena kerap mengkritik negara-negara barat. Ia juga tidak segan mengutuk tindakan Israel terhadap Palestina.
(Baca: Isu-isu Konflik di Muslim Summit dan Kecaman Anggota OKI)
Mundur dari UMNO
Mahathir mundur dari UMNO pada 2008 setelah partai tersebut kehilangan dua pertiga dari mayoritas kursinya di parlemen. Setelah berada di luar pemerintahan, ia tetap kritis terhadap pemerintahan PM Najib Razak, mantan anak didiknya yang kemudian tersangkut skandal korupsi dana pembangunan 1MDB.
Najib Razak didakwa menyalahgunakan dana US$ 700 juta dari 1MDB dan menjadi target investigasi kejahatan pencucian uang internasional. Skandal inilah yang menyebabkan pemerintahan Najib runtuh.
Pada Januari 2018, Mahathir mengumumkan ia maju sebagai kandidat perdana menteri bersama koalisi partai oposisi. Dalam pemilu ini, Mahathir kembali rujuk dengan Anwar. Saat kampanye, ia berjanji hanya akan menjabat selama dua tahun lalu ia akan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Anwar. Pada 9 Mei 2018, Mahathir menang dalam pemilu. Koalisinya meraih 122 kursi dari total 222 kursi di parlemen.
Setelah disumpah menjadi perdana menteri, hal pertama yang dilakukannya adalah mengajukan petisi kepada Sultan Muhamad V untuk memberi pengampunan kepada Anwar atas hukuman yang dijatuhkan dalam kasus sodomi. Anwar pun dibebaskan beberapa hari kemudian dan kembali terjun ke dunia politik.
(Baca: Skandal Korupsi 1MDB yang Menyeret Najib Razak dan Korporasi Global)