Sejarah BRIN, Dua Penelitinya Bermasalah dan Ancam Muhammadiyah

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.
Tersangka kasus dugaan ujaran kebencian yang merupakan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang Hasanuddin dihadirkan saat konferensi pers di Jakarta, Senin (1/5).
Penulis: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
2/5/2023, 14.33 WIB

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional alias BRIN Andi Pangerang Hasanuddin telah ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian berbasis SARA. Ia ditangkap pada Minggu (30/4) sekitar pukul 12.00 WIB di sebuah rumah kos daerah Jombang, Jawa Timur. 

Andi lalu dibawa ke Bareskrim Polri, Jakarta, sekitar pukul 21.30 WIB untuk diperiksa di Direktorat Tindak Pidana SIber atau Dittipidsiber. Namun, Direktur Dittipidsiber Bareskrim Polri Brigjen Pol Adi Vivid A Bachtiar menyebut belum akan menahan Andi. “Masih dilakukan pemeriksaan di Direktorat Siber Bareskrim,” kata Vivid kemarin. 

Kasus ini bermula dari komentar bernada ancaman yang diunggah AP Hasanuddin di unggahan sesama teman penelitinya di BRIN, Thomas Jamaluddin. Unggahan ini membahas perbedaan emtode penetapan hari Lebaran 2023.

Thomas berkomentar, Muhammadiyah sudah tidak taat pada keputusan pemerintah karena perbedaan penetapan hari Lebaran 2023. Andi pun membalasnya dengan nada sinis hingga pengancaman. Komentar inilah yang viral di media sosial.

“Saya tidak segan-segan membungkam kalian Muhammadiyah yang masih egosentris. Udah disentil sama Pak Thomas, Pak Marufin, dkk kok masih tak mempan,” tulis AP Hasanuddin. Kemudian AP Hasanuddin juga menulis komentar balasan atas unggahan akun Ahmad Fuazan S. 

“Perlu saya halalkan gak neh darah-darahnya semua Muhammadiyah ? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda Kalender Islam Global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang, sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan, saya siap dipenjara. Saya capek liat pengaduhan kalian,” tulis AP Hasanuddin.

LABORATORIUM BIOLOGI MOLEKULER BRIN (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/YU)

Apa Itu BRIN?

BRIN dibentuk secara langsung oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 yang ditandatangani pada 5 Mei 2021 lalu. Peraturan ini menetapkan BRIN sebagai satu-satunya badan penelitian nasional. 

Dengan peraturan tersebut lembaga penelitian milik pemerintah lainnya seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atau BPPT, Badan Tenaga Nuklir Nasional atau BATAN, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau LAPAN bergabung menjadi BRIN. Kini BRIN dipimpin oleh Laksana Tri Handoko.

Dari laman resmi BRIN, diketahui ada 12 organisasi riset yang mempelajari berbagai bidang ilmu. Mulai dari penerbangan dan antariksa, energi dan manufaktur, kesehatan, lingkungan, hingga arkeologi. 

Struktur BRIN (Katadata)

Bermula dari Zaman Belanda 

Jauh sebelum itu, cikal bakal BRIN adalah Lembaga Eijkman yang didirikan pemerintah Belanda pada 1888. Nama lembaga ini diambil dari Christiaan Eijkman, dokter sekaligus peneliti Belanda yang memperoleh penghargaan Nobel Kesehatan pada 1929. Eijkman jugalah direktur pertama yang memoimpin lembaga ini. 

Banyak terobosan yang dihasilkan dari penelitian Lembaga Eijkman. Misalnya accessory food factors atau substansi esensial dalam makanan yang dibutuhkan makhluk hidup. Ini adalah awal terbentuknya vitamin. Atas penemuan tersebut, Eijkman dan Frederick Hopkins beroleh hadiah Nobel pada 1929. Selain itu Eijkman aktif memburu penyebab penyakit malaria. 

Untuk menghormati kontribusinya, laboratorium yang awalnya berada di Groot Militair Hospitaal Weltevreden alias RPAD Gatot Subroto itu kemudian diganti dengan nama Lembaga Eijkman pada 1938.

Saat Jepang berhasil mengusir Belanda dari Hindia pada 1942, tentara Jepang menangkap dokter dan peneliti Belanda. Tidak terkecuali W. K. Martens, Direktur Lembaga Eijkman kala itu. 

Akhirnya puncak kepemimpinan Lembaga Eijkman diserahkan pada Achmad Mochtar, dokter STOVIA berdarah Minang. Ialah pribumi pertama yang memimpin lembaga tersebut.

Sayangnya hanya tiga tahun lamanya Mochtar memimpin Lembaga Eijkman. Dalam buku Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang, Sangkot Marzuki dan Kevin Baird menceritakan tentara Jepang menuduh ilmuwan Eijkman menyabotasi vaksin tetanus untuk Romusha. 

Tentara Jepang lalu menangkap belasan petinggi Eijkman, termasuk Achmad Mochtar. Dari buku ini diketahui Mochtar bernegosiasi dengan para penangkapnya. Ia mau mengakui keterlibatannya dengan syarat Jepang membebaskan koleganya. 

“Achmad Mochtar telah mati sebagai pahlawan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan bagi Indonesia,” tulis Sangkot.

LABORATORIUM BIOLOGI MOLEKULER BRIN (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/YU)

Dihidupkan Lagi oleh BJ Habibie

Seiring peliknya kondisi politik era 1960-an, Order Baru terpaksa menutup Lembaga Eijkman. Namun Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie memanggil pulang Sangkot Marzuki pada 1990. Sangkot yang kala itu adalah peneliti terkemuka di Australia, diminta Habibie untuk membangun pusat penelitian biologi molekuler Tanah Air.

Permintaan ini disanggupi Sangkot dengan satu syarat khusus: lembaga dibangun untuk melanjutkan legasi Lembaga Eijkman. Habibie mengabulkan permintaan ini sehingga pada 1992, Lembaga Eijkman hidup kembali dan Sangkot menjadi pemimpinnya. 

Secara birokrasi, lembaga ini berada di bawah naungan Kementerian Riset dan Tekonologi alias Kemenristek. Tapi Eijkman beroperasi layaknya perusahan swasta, mereka bisa merekrut peneliti sendiri. Meski dibiayai oleh uang negara, peneliti Eijkman bukan ASN. inilah yang membuat Lembaga Eijkman lebih bebas beroperasi dan menjalankan riset. 

Reporter: Amelia Yesidora