Tidak ada udara bersih di Jakarta bulan ini, menurut pantauan IQAir. Bahkan pada hari ini, Senin (14/8), Jakarta bercokol di posisi kedua sebagai negara dengan udara paling kotor di dunia.
Bahkan, Indeks Kualitas Udara alias AQI Jakarta tidak jauh dari posisi pertama, Kuwait. Jakarta dengan nilai 159, sedangkan Kuwait 161.
Efeknya sudah terasa hingga Kepala Negara. Presiden Joko Widodo menderita batuk selama empat minggu akibat polusi udara Jakarta. Para menterinya dipanggil pada pagi tadi untuk mencari solusi.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, mengatakan presiden belum pernah merasakan seperti ini. “Dokter menyampaikan, ada kontribusi udara yang tidak sehat dan kualitasnya buruk,” kata Sandiaga di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (14/8).
Untuk mengatasi masalah polusi ini, pemerintah provinsi DKI Jakarta bakal menerapkan kerja dari rumah bagi Pegawai Negeri Sipil yang tinggal di luar Jakarta. Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan aturan ini berlaku pada PNS yang tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat.
“WFH itu 50% atau 60% untuk mengurangi kegiatan hari-hari di pemerintah daerah DKI Jakarta. Kami minta juga kementerian lain juga bisa melakukan bersama WFH. Kami minta juga kementerian lain juga bisa melakukan bersama WFH,” kata Heru hari ini (14/8) di Istana Kepresidenan.
Apa Saja Sumber Polutan Udara?
Lembaga teknologi kualitas udara asal Swiss ini menggolongkan kualitas udara atas enam kelompok. Mulai dari baik (AQI 0–50), sedang (AQI 51–100), tidak sehat bagi kelompok sensitif (101–150). Kemudian tidak sehat berada di rentang AQI 151–200, sangat tidak sehat (AQI 201–300), dan berbahaya (AQI lebih dari 301).
AQI menghitung kualitas udara dari empat jenis polutan, yakni PM 2.5, PM10, ozon (O3), dan sulfur dioksida (SO2). Melansir laman Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, PM adalah singkatan dari particulate matter. Ini adalah partikel atmosfer yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2,5 mikrometer. Diameter partikel ini lebih kecil daripada 3% diameter rambut manusia.
PM 2.5 dibentuk di atmosfer karena reaksi bahan kimia seperti sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Ini tercipta dari pembakaran batu bara, pembakaran hutan, hingga pembukaan lahan. Sedangkan PM 10 berukuran 10 mikrometer atau lebih kecil dan terbentuk secara tidak langsung bila gas yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor dan industri mengalami reaksi kimia di atmosfer.
BMKG menetapkan batas konsentrasi polusi PM 2.5 yang diperolehkan dalam ambang 65 mikrogram per meter kubik. Batas ini jauh lebih longgar daripada WHO yang menetapkan rata-rata maksimal PM 2.5 yang ditetapkan senilai 5 mikrogram per meter kubik atau µg/m3. Paparan yang melebihi batas 15 µg/m3 selama 24 jam tak boleh lebih dari tiga sampai empat hari per tahun.
Acuan ini bahkan sudah makin diperketat sejak revisi pada 22 September 2021. Sebelumnya, WHO menetapkan paparan PM2.5 rata-rata di udara yang dapat ditolerir adalah 10 µg/m3 dan paparan 24 jam sebesar 25 µg/m3.
Ada lima kelompok level polusi udara PM 2.5, berdasarkan BMKG yakni:
- Level baik : 0-15 µgram/m3.
- Level sedang : 16-65 µgram/m3.
- Tidak sehat : 66-150 µgram/m3.
- Sangat tidak sehat : 151-250 µgram/m3.
- Level berbahaya : lebih dari 250 µgram/m3.
Di sisi lain, ada lima kelompok level polusi udara PM 10 berdasarkan Environmental Protection Agency alias EPA:
- Level baik : 0-40 µgram/m3
- Level sedang : 40-80 µgram/m3
- Level buruk : 80-120 µgram/m3
- Level sangat buruk : 120-300 µgram/m3
- Level berbahaya : lebih dari 300 µgram/m3
Selain empat parameter tersebut, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Bondan Andriyanu menyebut ada satu parameter yang perlu diperhatikan: nitrogen dioksida (NO2).
Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total emisi pencemar sulfur dioksida mencapai 4,257 ton per tahun dan pengemisi utama adalah sektor industri manufaktur senilai 2.637 ton per tahun atau setara 61,9%.
Emisi sulfur dioksida di industri ini disebabkan penggunaaan batubara "yang hanya 4% namun menghasilkan emisi SO2 sebesar 64%," tulis laporan KLHK dalam rapat terbatas kabinet yang diperoleh Katadata pada Senin (14/8).
Efek Ekonomi dan Kesehatan Polusi Udara
Berdasarkan data Global Burden Diseases 2019 Diseases and Injuries Collaborators terdapat lima penyakit respirasi penyebab kematian tertinggi di dunia, yakni penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), pneumonia, kanker paru, tuberkulosis, dan asma. Data tersebut menunjukkan PPOK memiliki 3,2 juta kematian, pneumonia 2,6 juta kematian, kanker paru 1,8 juta kematian, tuberkulosis 1,2 juta kematian, dan asma dengan 455 ribu kematian di seluruh dunia.
Mengutip data Kementerian Kesehatan, di Indonesia dari 10 penyakit dengan kasus terbanyak, empat di antaranya merupakan penyakit respirasi. Penyakit itu antara lain PPOK yang mencatatkan 78,3 ribu kematian, kanker paru dengan 28,6 ribu kematian, pneumonia dengan 52,5 ribu kematian, dan asma yang sudah mencatatkan 27,6 ribu kematian.
Data yang sama menunjukkan risiko terjadinya PPOK akibat polusi udara mencapai 36,6%, risiko pneumonia mencapai 32%, asma 27,95%, kanker paru 12,5%, dan tuberkulosis sebesar 12,2%. Selain itu, menurut Kementerian Kesehatan, usia penduduk Indonesia rata-rata berkurang 1,2 tahun akibat konsentrasi partikel debu halus di udara.
Secara ekonomi, polusi udara ini juga berpengaruh secara signifikan. Dari data BPJS Kesehatan periode 2018 sampai 2022, anggaran yang ditanggung untuk penyakit respirasi mencapai angka yang signifikan dan memiliki kecenderungan meningkat setiap tahun. Pneumonia menelan biaya sebesar Rp 8,7 triliun, tuberkulosis Rp 5,2 triliun, PPOK Rp 1,8 triliun, asma Rp 1,4 triliun, dan kanker paru Rp 766 miliar.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyebut bahkan ada 100 ribu warga Ibu kota terkena infeksi saluran pernapasan akut alias ISPA per bulannya. Meski begitu, mereka mengatakan penyebabnya adalah peralihan cuaca.
Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ngabila Salama merinci polusi udara bisa mengabitkan penyakit kronis hingga penyakit tidak menulars eperti radang paru. Selain itu juga bisa menyebabkan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), asma, hingga hipertensi. Berikut pemaparan Ngabila terkait penambahan kasus ISPA di DKI Jakarta: