Konferensi Iklim PBB COP28 akan diselenggarakan di Dubai, pada 30 November hingga 12 Desember mendatang. COP28 merupakan upaya negosiasi dari para menteri iklim negara-negara di dunia untuk mencapai kesepakatan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim tahun ini.
Acara tersebut berkaitan dengan penghapusan secara bertahap bahan bakar fosil yang menghasilkan karbondioksida (CO2) cukup tinggi. Seperti diketahui, negara-negara di dunia termasuk Indonesia sedang berupaya untuk beralih ke energi bersih agar mencapai target nol emisi bersih atau net zero emission
Uni Eropa merupakan salah satu negosiator paling ambisius dalam perundingan iklim tahunan PBB, di mana hampir 200 negara merundingkan upaya-upaya untuk memerangi pemanasan global. Lalu, siapa ketua atau presiden COP28 pada tahun ini?
Melansir dari UNI Climate Summit News, Presiden COP28 adalah Sultan Ahmed Al Jaber. Dia adalah seseorang yang berpengaruh dalam pemerintahan Uni Emirat Arab, karena memiliki peran yang cukup penting. Pertama, Al Jaber menjabat sebagai menteri perindustrian.
Kedua, dia adalah CEO Perusahaan Minyak Nasional Abu Dhabi (ADNOC) dan memimpin perusahaan energi masa depan Abu Dhabi atau yang dikenal sebagai Masdar .
Sultan Ahmed Al Jaber lahir pada tahun 1973. Pria berusia 49 tahun tersebut menjalani pendidikannya di Amerika Serikat dan Inggris. Al Jaber telah menjadi ikon sektor energi UEA selama satu dekade terakhir. Dia mendirikan Masdar pada tahun 2006 sambil menjalankan cabang investasi strategis pemerintah UEA.
Untuk diketahui, Al Jaber tidak termasuk dalam keluarga kerajaan. Dengan begitu, dia bisa lebih berkembang dan dikenal memiliki kontak global yang kuat di antara para pemimpin dan CEO dunia.
Pada 2021 lalu, Al Jaber mendapatkan penghargaan dari kelompok intelijen industri minyak. Pada kesempatan itu, ia mengatakan bahwa perusahaan Masdar merupakan bukti bahwa UEA menjadi negara yang terdepan dalam hal ini.
Uniknya, untuk pertama kalinya presiden COP28 tahun ini adalah seorang eksekutif perusahaan migas yang kemudian harus mengambil peran utama pada pertemuan puncak iklim PBB.
Kontroversi Al Jaber
Menurut UNI Climate Summit News, meskipun Al Jaber terkenal rajin memperingatkan bahaya perubahan iklim dan menguraikan rencana UEA untuk berinvestasi dalam energi ramah lingkungan, namun pidato-pidato nya baru-baru ini di sektor minyak patut mendapat sorotan.
Ia tercatat pernah memperjuangkan peningkatan investasi bahan bakar fosil tahunan sebesar US$ 600 miliar hingga tahun 2030, “Kita harus membuat kemajuan dengan pragmatisme” kata Al Jaber kepada para delegasi di acara KTT ADIPEC tahun 2021, dikutip dari UNI Climate Summit News, Senin (27/11).
“Mari kita dukung pendekatan inklusif yang memanfaatkan keahlian orang-orang di industri minyak dan gas,” kata dia.
Dari semua negara-negara teluk yang kaya akan minyak, UEA mungkin adalah negara yang paling unggul dalam hal transisi energi ramah lingkungan. Namun, Climate Action Tracker masih menilai upaya-upaya yang telah dilakukan UEA tidak cukup untuk bisa memiliki inisiatif strategis net zero pada tahun 2050.
Untuk diketahui, rata-rata pemerintah di seluruh dunia menargetkan bauran energi pada tahun 2050 yang terdiri atas 44% energi terbarukan, 38% gas, 12% batu bara bersih, dan 6% nuklir.
Selaras dengan hal ini, konferensi COP28 tahun 2023 berpotensi akan menjadi perhatian dunia. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah negara-negara di dalam COP setuju untuk pertama kalinya menghapus penggunaan bahan bakar fosil. Pasalnya, bahan bakar fosil merupakan penyebab utama perubahan iklim.
Selain itu, 27 negara anggotaUni Eropa juga telah sepakat untuk menyerukan suaranya dalam COP28 bahwa penggunaan bahan bakar fosil harus segera dihentikan secara bertahap.
Hal tersebut membuka peluang bagi negara-negara di dunia untuk tetap membakar batu bara, gas dan minyak, jika mereka menggunakan teknologi untuk menangkap emisi yang dihasilkan. Kesepakatan Uni Eropa mencatat bahwa teknologi penangkap emisi ada dalam skala terbatas dan akan digunakan untuk mengurangi emisi terutama dari sektor-sektor yang sulit dikurangi.
“Penggunaan teknologi ini tidak boleh digunakan untuk menunda aksi iklim," demikian kutipan kesepakatan tersebut, yang dilihat oleh Reuters.