Uang Merah vs Uang Putih, Perang Valuta di Masa Revolusi Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia belum memiliki mata uang sendiri. Saat itu mata uang yang beredar adalah uang bentukan pemerintahan pendudukan Jepang, yakni Dai Nippon Teikoku Seihu, atau kerap disebut rupiah Jepang dan uang peninggalan Hindia Belanda, yakni uang De Javasche Bank (DJB).
Namun, sebelum Perang Pasifik berakhir, pemerintah Belanda telah mempersiapkan mata uang baru untuk menggantikan mata uang Jepang dan DJB. Uang baru yang dipersiapkan saat Belanda kembali berkuasa ini sering disebut sebagai "Uang Merah" atau Uang NICA.
Pembuatan dan Peredaran Uang Merah
Mengutip historia.id, pemerintah Belanda sudah mempersiapkan uang baru untuk digunakan jika kembali menguasai Indonesia atau Hindia Belanda. Uang tersebut dicetak pada 1943 di American Bank Note Company, Amerika Serikat (AS) dalam pecahan 50 sen hingga 500 gulden/rupiah.
Dalam uang tersebut dicantumkan nilai gulden dalam bahasa Belanda, dan nilai rupiah dalam bahasa Indonesia. Masuknya uang baru ini ke Indonesia ditandai dengan kedatangan Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Masyarakat Indonesia saat itu menyebut mata uang yang dibawa oleh pemerintahan Belanda melalui NICA, sebagai "Uang Merah". Penyebutan ini dikarenakan warna dominan uang ini adalah merah.
Pada 30 September 1945 diputuskan, peredaran Uang Merah ini dilakukan pertama kali di luar Jawa. Kurs penukaran saat itu diputuskan, 1 uang rupiah Jepang bernilai sama dengan 3 sen Uang Merah.
Keputusan ini langsung mendapat penentangan keras dari pemerintah Republik Indonesia. Pada 2 Oktober 1945, pemerintah Indonesia menyerukan maklumat agar masyarakat tidak menerima uang bawaan NICA ini.
Peredaran Uang Merah ini cukup mulus di awal-awal NICA masuk Indonesia. Pasalnya, NICA langsung memperoleh akses kantor-kantor bank Jepang pada 10 Oktober 1945. Bank bentukan Jepang ini kemudian ditutup, dan NICA menghidupan kembali DJB yang bertugas sebagai bank sirkulasi.
Pada 6 Maret 1946, NICA secara resmi mulai mengedarkan dan menetapkan Uang Merah sebagai alat pembayaran yang sah di daerah-daerah pendudukan.
Untuk mengedarkannya, pemerintah pendudukan Belanda tak jarang melakukan pemaksaan. Meski, saat itu rakyat kebanyakan hanya mau menerima rupiah Jepang, pemerintah pendudukan Belanda memaksa masyarakat untuk menukarkannya dengan Uang Merah. Tak jarang pemaksaan tersebut dilakukan dengan todongan senjata.
Terbentuknya Uang Putih dan Dimulainya Perang Valuta
Menyingkapi peredaran Uang Merah yang kian meluas, pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam. Pada 15 Maret 1946, pemerintah mengeluarkan maklumat, yang menyatakan bahwa masyarakat yang kedapatan memegang Uang Merah akan mendapatkan hukuman berat. Alhasil, Uang Merah saat itu menjadi momok bagi masyarakat.
Kemudian, saat Bank Negara Indonesia (BNI) berdiri pada 5 Juli 1946, pemerintah memutuskan untuk menarik peredaran beberapa uang, yakni uang DJB, uang rupiah Jepang dan Uang Merah. Saat itu, penduduk hanya diperbolehkan memegang maksimal 50 sen rupiah Jepang.
Penarikan peredaran uang ini diikuti oleh upaya pemerintah Indonesia mempersiapkan mata uang sendiri. Upaya ini menghasilkan Oeang Republik Indonesia (ORI) atau "Uang Putih".
Uang Putih atau ORI ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis melalui Surat Keputusan No.SS/1/25 tanggal 29 Oktober 1946. ORI secara resmi berlaku pada 30 Oktober 1946 sebagai mata uang yang sah di wilayah Republik Indonesia.
Mengutip www.bi.go.id, kehadiran Uang Putih ini menandai dimulainya perang valuta atau perang mata uang di wilayah Indonesia. Dengan kawalan ketat, peredaran Uang Putih mulai memasuki daerah-daerah pendudukan, untuk menandingi Uang Merah.
Mengetahui pemerintah Indonesia mengeluarkan mata uang sendiri, NICA kemudian berusaha menjegal peredaran ORI. NICA bahkan memalsukan ORI untuk membuat nilai ORI jatuh akibat inflasi. Selain itu, NICA juga kerap mengintimidasi masyarakat yang menyimpan ORI.
Di masa awal-awal perang mata uang, nilai ORI cenderung kuat melawan uang NICA, di mana satu ORI berbanding 2 uang NICA. Namun, dalam perjalanannya nilai ORI terus menyusut hingga 1:5. Bahkan, pada saat Agresi Militer Belanda II, nilai ORI turun tajam, dengan perbandingan butuh 500 ORI untuk menebus 1 florin uang NICA.
Kemerosotan ORI atau Uang Putih ini, disebabkan karena beberapa hal, yakni makin sempitnya wilayah Republik Indonesia, tekanan Belanda kepada penduduk yang memegang ORI, dan inflasi.
Namun, peredaran ORI tetap tidak dapat dibendung oleh NICA. Penyebabnya adalah, pemerintah Indonesia saat itu mengambil kebijakan deficit-financing, yakni upaya mengatasi kekurangan anggaran dengan mencetak ORI sebanyak-banyaknya. Ini memang menyebabkan inflasi, namun jumlah ORI yang beredar menjadi banyak.
Selain itu, meski NICA berupaya membendung ORI di beberapa daerah pendudukan, pemerintah di masing-masing daerah tersebut mengeluarkan ORI cetakan sendiri. Uang ini dikenal sebagai ORI daerah atau ORIDA.
Keberadaan ORIDA ini dijamin melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.19/1947. Aturan ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerbitkan mata uang atau alat pembayaran sementara yang sah. Pemerintah pusat juga menjamin seluruh penerbitan ORIDA dapat ditukarkan dengan ORI.
Oleh karena itu, meski awalnya NICA melalui Uang Merah berhasil menyudutkan ORI, namun hingga 1949 perang valuta berjalan ketat karena hadirnya Uang Putih bentukan daerah, atau ORIDA. Upaya NICA menjegal ORI dengan intimidasi atau pemalsuan pun tidak efektif.
Kemenangan Uang Putih dan Berakhirnya Perang Valuta
Perang mata uang yang terjadi di Indonesia selama masa revolusi kemerdekaan berakhir pada 1949, yakni menjelang dilaksanakannya Konferensi Meja Bundar (KMB).
Sebelumnya, saat Belanda meninggalkan Yogyakarta menjelang akhir 1949, Menteri Negara/Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengkubowono IX menetapkan ORI sebagai alat pembayaran yang sah. Namun di saat bersamaan, ia juga mengizinkan uang NICA tetap beredar, sebagai salah satu bentuk kompromi.
Namun, penarikan diri Belanda dari Yogyakarta tidak membuat perang mata uang berakhir, karena antara Uang Putih dan Uang Merah masih memperebutkan eksistensinya di wilayah Indonesia.
Kekalahan Uang Merah ditandai dengan perundingan KMB. Pada saat perundingan dimulai, Belanda meminta uang NICA atau Uang Merah ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah. Permintaan ini segera ditolak mentah-mentah oleh Indonesia.
Namun, saat itu pemerintah melalui Menteri Negara/Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengkubowono IX tidak secara tegas menolak Uang Merah saat KMB berlangsung. Pemerintah justru mengajukan usulan baru, yakni mempersilahkan Belanda melakukan jajak pendapat untuk mengetahui respons terhadap dua mata uang yang berlaku.
Jajak pendapat atau survei diusulkan, agar Belanda bisa mengetahui apakah masyarakat Indonesia benar-benar menghendaki Uang Merah atau tidak.
Melalui jajak pendapat di daerah-daerah pendudukan, didapati bahwa masyarakat menolak tegas keberadaan Uang Merah atau uang NICA, dan lebih menghendaki ORI atau Uang Putih sebagai alat pembayaran yang sah.
Dengan demikian berakhirlah perang valuta atau perang mata uang yang berlangsung selama empat tahun, sejak 1945 hingga 1949. Hingga penyerahan kedaulatan dan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah adalah ORI.