Emiten produsen rokok, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mencatatkan laba bersih sebesar Rp 7,24 triliun sepanjang Januari-September 2019. Angka tersebut naik 25,6% dibandingkan dengan laba bersih pada periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp 5,76 triliun.
Laporan keuangan perusahaan yang dirilis Rabu (30/10) menunjukkan peningkatan laba bersih Gudang Garam sebagian disebabkan oleh kenaikan pendapatan. Hingga September 2019, Gudang Garam membukukan pendapatan Rp 81,72 triliun, meningkat 16,9% dari tahun sebelumnya Rp 69,88 triliun.
Penjualan sigaret kretek mesin (SKM) menjadi penopang utama pendapatan rokok Gudang Garam. Hingga triwulan III 2019, pendapatan dari segmen SKM, baik ekspor maupun penjualan di dalam negeri perusahaan tercatat sebesar Rp 74,89 triliun atau tumbuh hingga 18,6% secara tahunan dari sebelumnya Rp 63,13 triliun.
(Baca: Cukai Rokok Naik Tahun Depan, Laba Bersih GGRM dan HMSP Diramal Anjlok)
Tak hanya SKM saja, kenaikan penjualan juga dibukukan untuk jenis produk sigaret kretek tangan (SKT) 4,8%. Sehingga. Gudang Garam mampu mengantongi pendapatan dari penjualan SKT ini sebesar Rp 5,79 triliun. Sedangkan pada Januari- September 2018 pendapatan dari segmen ini tercatat sekitar Rp 5,53 triliun.
Naiknya pendapatan perusahaan juga diikuti dengan biaya pokok penjualan perusahaan sebesar 17,4%. Namun demikian, perusahaan rokok yang bermarkas di Kediri, Jawa Timur ini masih bisa mencatat pertumbuhan laba kotor sebesar 14,7% menjadi Rp 15,7 triliun dibandingkan dengan periode yang sama sebelumnya senilai Rp 13,71 triliun.
Hingga triwulan III 2019, Gudang Garam mencatat total aset sebesar Rp 71,97 triliun. Angka tersebut naik 4,1% dibandingkan dengan total aset pada Desember 2018. Sementara, total liabilitas perusahaan per September 2019 senilai Rp 24,59 triliun atau naik 2,6% dibandingkan dengan total liabilitas Desember 2018.
(Baca: Saham Sampoerna dan Gudang Garam Laris Dibeli Investor Asing)
Adapun setelah menyampaikan laporan keuangan, harga saham Gudang Garam di Bursa Efek Indonesia (BEI) naik sebesar 2,19% menjadi Rp 56.025 pada penutupan sesi pertama hari ini. Saham ini diperdagangkan dengan volume sebanyak 1 juta saham, dengan nilai Rp 58,99 miliar, dan dengan frekuensi sebanyak 2.535 kali.
Kenaikan Cukai
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menaikkan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 23% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020. Kenaikan ini tertuang dalam Peaturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang diteken pada 18 Oktober 2019.
Dalam PMK tersebut, diatur berbagai besaran tarif cukai dan harga banderol minimum menurut jenisnya. Adapun penerapan harga dan tarif cukai pada rokok buatan dalam negeri dan hasil impor berbeda.
Untuk rokok dalam negeri, terdapat delapan jenis rokok yang diubah aturannya. Pada jenis rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I, batasan harga paling rendah ditetapkan Rp 1.700 per batang atau gram dengan tarif cukai Rp 740.
(Baca: Tarif Cukai Naik per 1 Januari, Ini Daftar Harga Eceran Baru Rokok)
Kemudian jenis rokok SKM golongan II, batasan harga diatur paling rendah Rp 1.020 hingga Rp 1.275 per batang atau gram, dengan tarif cukai Rp 455. Namun, untuk rokok jenis SKM II yang harganya lebih dari Rp 1.275 per batang atau gram dikenakan tarif cukai Rp 470.
Pada jenis rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan I, ditetapkan harga terendah Rp 1.790 dengan tarif cukai Rp 790. Sementara untuk golongan II ditetapkan harga terendah Rp 1.015 hingga Rp 1.485 dengan tarif cukai Rp 470. Namun, jika harga ditetapkan lebih dari Rp 1.485, tarif cukai dikenakan sebesar Rp 485.
Kenaikan cukai rokok dinilai berdampak signifikan terhadap industri rokok domestik. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) bahkan memperkirakan produksi rokok bakal turun hingga 15% pada tahun depan seiring kenaikan cukai rokok.
"Dengan adanya keputusan pemerintah yang sangat eksesif, tentu akan menyebabkan dampak negatif untuk industri," kata Ketua Gappri Henry Najoan di Jakarta, Rabu (18/9).
Ia menyebut kenaikan tarif cukai akan mengganggu ekosistem industri rokok. Penjualan rokok akan turun dan berakibat pada produksi serta penurunan penyerapan tembakau dan cengkeh hingga 30%. Selain itu, menurut dia, bakal terjadi pemangkasan karyawan pabrik, serta peningkatan rokok ilegal.
Industri hasil tembakau diperkirakan menyerap 7,1 pekerja yang meliputi petani, buruh, pedagang eceran, dan industri yang terkait. Padahal, saat ini industri hasil tembakau tengah mengalami tren negatif.
Pertumbuhan industri rokok dalam tiga tahun terakhir telah menurun 1-3%. Berdasarkan data AC Nielsen, produksi rokok pada semester I 2019 juga menurun 8,6% secara tahunan.