PT Bukit Asam Tbk (PTBA) terus melakukan penetrasi pasar non-tradisional untuk meningkatkan penjualan batu bara. Hingga saat ini, pasar ekspor komodtas terbesar yaitu Tiongkok masih menahan konsumsi batu bara.
Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin mengatakan penjualan batu bara kalori menengah diperluas ke berbagai negara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Australia. Sedangkan, Jepang menjadi pasar utama perusahaan.
Selain itu, perusahaan pelat merah ini juga meningkatkan penjualan dalam negeri, tidak hanya ke pembangkit listrik tetapi ke pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). "Memang kita melakukan penetrasi pasar non tradisional, kami harapkan strategi ini mampu membuat kinerja lebih baik," kata Arviyan saat paparan kinerja perusahaan di Jakarta, Senin (28/10).
Startegi ini pun berhasil meningkatkan penjualan perusahaan. Pada kuartal III 2019, tercatat penjualan batu bara PTBA sebesar 20,6 juta ton atau naik 10,7% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya (year on year/yoy).
(Baca: Kerek Laba, Bukit Asam Genjot Produksi Batu Bara Kalori Tinggi)
Naiknya penjualan tersebut ditopang oleh peningkatan produksi pada kuartal III sebesar 9,6% secara yoy menjadi 21,6 juta ton. Diharapkan hingga akhir tahun produksi batu bara bisa mencapai 27-28 juta ton sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2019 yang telah diserahkan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Direktur Niaga PTBA Adib Ubaidillah mengatakan tahun ini ditargetkan perusahaan sudah memiliki kontrak penjualan untuk 2020 sebesar 70% dari total produksi. Ini merupakan strategi untuk meningkatkan volume penjualan.
"Kami sudah punya kontrak untuk tahun depan, sudah 50% batu bara yang kami punya terjual di tahun depan. Targetnya tahun ini sudah terjual 70%," kata Adib.
Meski volume penjualan meningkat, laba perseroan justru tergerus. Pada periode Juli-September PTBA membukukan laba bersih Rp 3,1 triliun atau turun 20,5% secara tahunan atau yoy. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya beban pokok pendapatan 12,9 % menjadi Rp 10,5 triliun.
(Baca: Permintaan Turun, Harga Batu Bara Oktober Anjlok ke US$ 64,8 per Ton)
Naiknya beban pendapatan paling besar disebabkan oleh biaya angkutan kereta api seiring dengan peningkatan volume angkutan, serta naiknya biaya jasa penambangan, karena meningkatnya rata-rata nisbah kupas atau stripping ratio.
Hingga September 2019 tercatat nisbah kupas sebesar 4,6 bcm per ton, atau naik 12% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Kenaikan nisbah kupas ini disebabkan produksi batu bara kalori tinggi atau sebesar 6.100 kkal/ kg GAR sebanyak 1,9 juta ton.
Selain itu, juga disebabkan oleh melemahnya harga batu bara yang turun sebesar 7,8% secara yoy yakni menjadi Rp 775.675 per ton. Turunnya harga batu bara yang dijual oleh perusahaan dipicu oleh turunnya harga pada indeks Newcastle sebesar 81,3 per ton atau turun 25% secara yoy.
Adapun pendapatan perusahaan tercatat sebesar Rp 16,25 triliun atau naik 1,37% secara yoy. Sedangkan per 30 September 2019 aset Bukit Asam sebesar Rp 25,2 triliun, kas dan setara kas sebesar Rp 4,2 triliun.
(Baca: Biaya Produksi Meningkat, Laba Bersih PTBA Anjlok 22,5%)