Investor Khawatirkan Risiko Perekonomian Global Terhadap Pasar Modal

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Damhuri Nasution (kanan) selaku Kepala Danareksa Research Institut dalam acara mengenai paparan survei Katadata Investror Confidence Index (KICI) bersama Katadata di Jakarta, Selasa (30/1).
Penulis: Ihya Ulum Aldin
30/1/2019, 22.34 WIB

Hasil survei Katadata Investor Confidence Index (KICI) menunjukkan bahwa investor institusi tidak mengkhawatirkan kondisi perekonomian dalam negeri sebagai risiko yang mengancam kondisi pasar modal untuk saat ini hingga tiga bulan kedepan. Mereka lebih mengkhawatirkan risiko dari kondisi perekonomi global. 

Survei yang dilakukan terhadap 172 investor institusi yang terdiri dari manajer investasi, dana pensiun, dan asuransi menunjukkan mayoritas responden atau sebanyak 40,1% investor intitusi mengkhawatirkan perkembangan ekonomi global. Sedangkan hanya 4,1% responden yang mengkhawatirkan risiko dari perekonomian domestik. 

Damhuri Nasution, Panel Ahli Katadata Insight Center (KIC) mengatakan, tahun lalu ekonomi dalam negeri memang terdampak gejolak ekonomi global. Dia mencontohkan beberapa faktor yang mempengaruhi ekonomi domestik yaitu perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, serta normalisasi kebijakan moneter AS dengan kenaikan suku bunga acuannya.

(Baca: Optimis Jelang Pilpres, Katadata Investor Confidence Index Capai 139,1)

"(Pada) 2018 ada gejolak di pasar keuangan, bisa dilihat dari pelemahan nilai tukar, penurunan IHSG. Semua itu disebabkan oleh faktor global," kata Damhuri dalam acara yang diadakan Katadata.co.id Press Talk "Peluang dan Risiko Investasi Jelang Pilpres" di Jakarta, Rabu (30/1).

Menurut data Bloomberg, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi sebesar 2,5% sepanjang 2018, sedangkan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan sebesar 6,89% pada periode yang sama. 

Damhuri mengatakan, kekhawatiran investor institusi pada ekonomi global di tiga bulan pertama tahun ini, merupakan efek kekhawatiran dari ekonomi global sepanjang 2018. Namun, gejolak tersebut dinilainya tidak banyak mempengaruhi kondisi ekonomi dalam negeri ke depan, tidak seperti tahun lalu.

Dia meyakini hal tersebut, karena ada beberapa hal. Seperti perlambatan ekonomi AS dan kemenangan partai opisisi Presiden AS Donald Trump, Partai Demokrat yang menguasai House of Representatives (DPR-nya AS). Faktor terakhir, Damhuri mengatakan, membuat Trump tidak bisa membuat banyak manuver kebijakan seperti tahun lalu.

"Trump tidak mudah meloloskan kebijakan seperti sebelumnya karena DPR AS sekarang yang pegang Partai Republik, usai pemilu kemarin," kata Damhuri.

(Baca: Jelang Pilpres, Investor Khawatirkan Ekonomi Global Daripada Politik)

Faktor global lain, yang tahun kemarin menjadi isu hangat yaitu perang dagang AS dengan Tiongkok. Menurut Damhuri, meski belum tahu hasilnya akan seperti apa, tapi adanya negosiasi yang sedang berjalan mampu memberikan harapan kepada investor terhadap ekonomi dalam negeri beberapa bulan ke depan.

Meski begitu, faktor perang dagang tetap dianggap bisa menjadi risiko yang mampu membuat ekonomi dalam negeri bergejolak, tergantung keputusan kedua belah pihak pada akhir Februari mendatang. Jika tidak tercapai kesepakatan, pihak AS telah mengancam Tiongkok dengan tarif baru sebesar 25% terhadap komoditas asal Tiongkok yang masuk ke AS yang nilainya mencapai US$ 200 miliar.

Di samping itu, faktor lain yang masih membayangi ekonomi dalam negeri adalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau lebih dikenal dengan istilah Brexit (British Exit). Damhuri menilai jika Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan sama sekali (no deal Brexit), dapat melemahkan nilai tukar mata uang poundsterling terhadap dolar AS.

Melemahnya pound akan membuat banyak investor beralih pada mata uang save haven antara lain dolar, euro, yuan, dan yen. Kondisi ini berpotensi memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. "Meski ini hanya sesaat saja sepertinya," katanya.

(Baca: Chatib Basri Nilai Pengetatan Moneter Negara Maju Tekan Investasi 2018)

Reporter: Ihya Ulum Aldin