PT WIKA Bangunan Gedung resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai proses akhir penjualan saham perdana (initial public offering/IPO) anak usaha dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Beberapa rencana ekspansi akan direalisasikan dengan adanya tambahan dana segar dari aksi korporasi tersebut.
Direktur Utama WIKA Gedung Nariman Prasetyo menuturkan, perusahaannya melepas sebanyak 2,87 miliar lembar saham atau setara dengan 30% dari modal yang ditempatkan. Dengan harga yang ditetapkan Rp 290 per lembar saham, WIKA Gedung memperoleh dana segar sebesar Rp 832,88 miliar dari IPO ini.
"WIKA Gedung dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan terus. Tahun depan pun kami komitmen melanjutkan pertumbuhan," ujar Nariman saat konferensi pers, di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (30/11). Sebelumnya, kepemilikan saham WIKA Gedung dipegang oleh Induk usahanya yakni WIKA sebanyak 99% serta koperasi karyawan sebanyak 1%.
Saham WIKA Gedung mengalami kelebihan permintaan (oversubscribe) sebanyak 216%. WIKA Gedung menunjuk PT Mandiri Sekuritas, PT Bahana Securities, PT CIMB Sekuritas Indonesia dan PT Buana Capital Sekuritas untuk menjadi penjamin pelaksana emisi efek (underwriter).
(Baca: Wika dan Jasa Marga Akan Terbitkan Obligasi Global Rupiah Tahun Ini)
Berdasarkan pantauan, saham emiten berkode WEGE ini tercatat mengalami penguatan saat pencatatan perdananya. Saham anak usaha dari Wika Group ini menguat 3,45% atau naik 10 poin menjadi Rp 300 per lembar saham jika dibandingkan dengan harga penawarannya yakni Rp 290 per lembar saham. Saat pencatatan perdana tersebut, saham WEGE ditansaksikan dengan nilai Rp 4,97 juta.
Memang, pada awalnya, WEGE berencana untuk melepaskan 40% sahamnya ke publik. Namun setelah melalui kajian dan penyusunan strategi, akhirnya manajemen perusahaan berserta induk usaha sepakat untuk melepas saham sebanyak 30% ke publik. Meskipun demikian, Nariman menuturkan, tidak menutup kemungkinan dikemudian hari melepas 10% saham sisa yang telah direncanakan sebelumnya.
Direktur Human Capital & Business Development Nur Al Fata menjelaskan, meskipun tidak menutup kemungkinan melepas 10% saham tambahan, namun, aksi korporasi tersebut tidak akan dilakukan dalam jangka waktu dua tahun ke depan. Nur menyatakan, kebutuhan dana dua tahun ke depan akan diambil dari hasil IPO ini dan juga alternatif pendanaan lainnya seperti penerbitan obligasi.
(Baca: Campina Ice Cream Incar Dana Segar Rp 350 Miliar dari IPO)
Adapun, dana hasil IPO ini sebanyak 70% akan digunakan untuk ekspansi pada usaha konsesi (forward) dan backward integration konstruksi, yakni memperkuat supply chain perusahaan, terutama dalam mengembangkan industrialisasi precast, prefab, dan geotech dengan mendirikan WIKA Pracetak Gedung (WPG). Selain itu, WIKA Gedung juga akan membangun industri modular.
"Sementara sisanya, sebanyak 30% akan dipergunakan untuk kebutuhan modal kerja," ujar Nur.
Dirinya menjelaskan, pada tahun ini WIKA Gedung menargetkan pendapatan Rp 3,98 triliun dengan laba bersih sebesar Rp 286 miliar. Sementara, tahun 2018, WIKA Gedung menargetkan keduanya dapat tumbuh 30 persen, yakni pendapatan menjadi sekitar Rp 5,17 triliun dan laba bersih menjadi Rp 390 miliar.
Di tahun 2018 mendatang, portofolio proyek WIKA Gedung sebanyak 60% berasal dari pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang akan membangun hunian murah (low cost housing) dan bandara. Sedangkan, 40% sisanya diperoleh dari swasta, yaitu pelanggan yang berulang dan proyek lanjutan. "Misalnya sebelumnya ada klien yang membangun strukturnya saja, tapi nanti ada lanjutannya ke arsitekturnya," ujar Nur.
Nur pun menyatakan, saham WIKA Gedung ini akan diapresiasi oleh para investor. Alasannya, kinerja perusahaan yang terus bertumbuh dan memiliki fundamental yang sangat baik. WIKA Gedung pun diklaim tidak terlalu bergantung dengan induk usahanya, karena proyek yang turun hanya sebesar 10%. Alhasil, saham WIKA Gedung diharapkan akan terus bertumbuh.
Hingga Oktober 2017, kontrak baru WIKA Gedung mencapai Rp 6,2 triliun, sehingga total kontrak yang dipegang (order book) saat ini mencapai Rp 11,8 triliun. Jumlah ini terdiri dari kontrak baru senilai Rp 6,2 triliun dan kontrak bawaan (carry over) tahun lalu sebesar Rp 5,6 triliun. Sementara di tahun depan, ditargetkan kontrak baru sebesar Rp 16 triliun.