KATADATA - Setelah sekadar menjadi wacana selama lebih setahun terakhir, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserves menaikkan suku bunga acuan (The Fed rate) sebesar 25 basis poin dari 0-0,25 persen menjadi 0,25-0,50 persen, Rabu malam waktu setempat atau Kamis dinihari (17/12) waktu Indonesia. Di luar perkiraan, kebijakan yang menandai berakhirnya era bunga nol persen selama tujuh tahun terakhir tersebut tidak mengguncang pasar keuangan dan saham dunia serta di dalam negeri.
Di pasar valuta asing (valas), dolar Amerika Serikat (AS) cuma menguat 0,17 persen terhadap euro dan 0,45 persen atas yen Jepang. Sedangkan di pasar obligasi, surat utang pemerintah bertenor pendek mengalami tekanan jual. Imbal hasil obligasi pemerintah berjangka dua tahun naik menjadi lebih 1 persen, yang merupakan level tertinggi sejak April 2010. Begitu pula, imbal hasil obligasi pemerintah berjangka 10 tahun naik menjadi 2,291 persen.
Di bursa saham, kebijakan bank sentral AS itu juga menuai respons positif. Indeks Dow Jones dan indeks Nasdaq di bursa New York ditutup menguat masing-masing 1,5 persen dari sehari sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan, para investor percaya kondisi ekonomi AS sudah kuat dan cukup cerah di masa depan. Selain itu, para investor sejak jauh-jauh hari sudah memperkirakan kenaikan bunga The Fed itu di pengujung 2015. "Tepat, sepetti apa yang kami perkirakan," kata F. William McNabb III, Chief Executive Vanguard Group, raksasa dana pensiun di AS, seperti dikutip dari situs wsj.com.
(Baca: Ekonomi Indonesia Tahun Depan Terancam Defisit Kembar)
Kondisi itu menjalar ke bursa saham di Asia Pasifik. Saat pembukaan perdagangan saham kamis pagi, indeks MSCI Asia Pacific naik 0,9 persen. Sedangkan indeks Topix di bursa Tokyo naik lebih 2 persen dan indeks Hang Seng di Hong Kong tumbuh 0,95 persen. "Mereka (The Fed) akhirnya melakukannya. Hal ini tidak menyebabkan guncangan apapun di pasar," kata Lee Ferridge, Head of Macro Strategy for North America State Street Corp., seperti dikutip Bloomberg.
Kekhawatiran terhadap hengkangnya dana asing sehingga memukul mata uang rupiah dan menjatuhkan harga saham di dalam negeri pasca kenaikan Fed rate, juga tidak terbukti. Saat pembukaan perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis pagi, indeks harga saham gabungan langsung naik ke level 4.542 dari sehari sebelumnya di posisi 4.483. Hingga siang ini, IHSG sudah tumbuh 1,22 persen dari Rabu kemarin.
(Baca: Rupiah Melemah 14.100 per Dolar, BI Waspadai Dua Penyebabnya)
Di pasar spot valas, rupiah juga dalam tren menguat terhadap dolar AS. Rupiah bergerak dalam rentang 13.999-14.065 per dolar AS atau menguat tipis 0,1 persen dari hari sebelumnya. Sedangkan berdasarkan kurs referensi JISDOR di Bank Indonesia, rupiah juga menguat tipis menjadi 14.028 dari posisi 14.050 pada Rabu lalu.
Meski begitu, pelaku pasar tetap harus mewaspadai dampak kenaikan bunga AS pada tahun depan. Awal pekan ini, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyebut, tiga tantangan utama perekonomian Indonesia tahun depan dari faktor luar negeri. Pertama, perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina. Kedua, kemungkinan masih melorotnya harga komoditas yang merupakan andalan utama ekspor Indonesia.
Ketiga, kenaikan suku bunga The Fed secara bertahap mulai akhir tahun ini. Diperkirakan, Fed rate akan kembali naik tahun depan menjadi 1,125 persen dan mencapai 2,625 persen pada 2017. “Ini perlu diwaspadai karena ada kecenderungan dolar terus menguat seiring perbaikan ekonomi Amerika dalam tujuh tahun terakhir,” kata Agus.
(Baca: BI Peringatkan Pemerintah Akan Perlambatan Cina dan Bunga Amerika)
Di satu sisi, kebijakan bank sentral AS menaikkan suku bunga tersebut memang memunculkan optimisme terhadap perbaikan ekonomi di negara tersebut pascaresesi panjang sejak tahun 2008 silam. “Kebijakan ini mengakhiri masa ketidaklaziman selama tujuh tahun,” kata Gubernur The Fed Janet Yellen. Ini pertama kalinya bank sentral AS menaikkan suku bunga sejak Juni 2006 dan kali perdana bunga AS beranjak dari nol persen sejak Desember 2008.
Kenaikan suku bunga AS tersebut menunjukkan telah pulihnya ekonomi AS pascakrisis 2008 silam, yang bermula dari krisis kredit macet hipotek rumah (subprime mortgage). Ada beberapa indikator pemulihan ekonomi AS itu. Antara lain, konsumsi masyarakat meningkat meski inflasi masih berkutat di bawah 2 persen.
Selain itu, angka pengangguran turun menjadi 5 persen, lebih rendah dari saat pertama kali The Fed mulai menaikkkan suku bunga tahun 2004 silam. “Kondisinya menunjukkan perbaikan, ditandai peningkatan lapangan kerja dan kenaikan pendapatan,” kata Yellen.
Karena itulah, The Fed berencana menaikkan lagi suku bunga secara bertahap pada tahun depan hingga 2018. Waktu dan besaran kenaikannya disesuaikan dengan beberapa indikator perkembangan ekonomi AS. Berdasarkan proyeksi The Fed, median kenaikan suku bunga tahun depan sebesar 100 basis poin menjadi 1,375 persen dan menjadi 2,375 persen pada 2017. Kenaikannya terus berlanjut pada 2018, yang diperkirakan menjadi 3,25 persen.