Holding BUMN dan Yusuf Mansur di Balik Anomali Lonjakan Saham Garuda

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww.
Pesawat Garuda Indonesia Airbus A330-900neo bercorak khusus yang menampilkan visual masker pada bagian moncong pesawat berada di Hanggar GMF AeroAsia Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (1/10/2020). Pemberian gambar masker pada pesawat merupakan dukungan Garuda Indonesia terhadap program edukasi pemerintah melalui kampanye 'Ayo Pakai Masker'.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Pingit Aria
21/11/2020, 08.22 WIB

Harga saham maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk melambung tinggi sepanjang bulan ini. Pada perdagangan Jumat (20/11), saham berkode emiten GIAA ini ditutup di harga Rp 394 per saham. Harga saham perusahaan BUMN ini sudah naik 64,17% sejak awal bulan ini.

Tentu kenaikan ini disambut dengan senang hati oleh manajemen Garuda. "Kami melihat ini sebuah bentuk apresiasi atas apa yang kami lakukan hari ini," kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (20/11).

Kenaikan harga saham Garuda ini merupakan anomali dari kinerja keuangan perusahaan. Sebab, kerugian Garuda makin membesar dihajar pandemi Covid-19. Garuda tercatat menanggung kerugian senilai US$ 1,07 miliar atau setara Rp 15,34 triliun hingga triwulan ketiga 2020 (asumsi kurs: Rp 14.280 per dolar).

Berdasarkan laporan keuangan Garuda yang dirilis melalui keterbukaan informasi, Kamis (5/11), kinerja kuartal ketiga 2020 berbanding terbalik dengan raihan profit periode yang sama tahun lalu. Saat itu, Garuda mampu meraih laba bersih US$ 122,42 juta atau Rp 1,74 triliun.

Berikut adalah Databoks penurunan penumpang Garuda Indonesia hingga September 2020:

Menilai penguatan saham ini, analis Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas mengatakan rencana pembentukan induk usaha (holding) BUMN sektor pariwisata menjadi salah satu sentimen positif. "Makanya, harga saham Garuda menguat," katanya kepada Katadata.co.id, Jumat (20/11).

Pembentukan holding ini ditargetkan bisa selesai sebelum akhir tahun ini usai, dimana terbentuknya holding ditandai dengan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP). Rencananya, pemerintah menunjuk PT Survai Udara Penas untuk menjadi induk holding.

Irfan Setiaputra mengaku mendukung rencana pemegang saham untuk membentuk holding, dengan terus berpartisipasi aktif. Ia menilai, Garuda sangat diuntungkan karena bakal membahas rute-rute baru destinasi wisata, bersama anggota holding lainnya.

"Kami akan bicara mengenai rute-rute baru bagaimana, arrangement penerbangan seperti apa. Bagaimana interaksi Garuda dengan destinasi-destinasi pariwisata yang ada," kata Irfan.

Pada tahap pertama, pemerintah melakukan inbreng terhadap saham tujuh perusahaan pelat merah kepada Penas. Seperti, PT Angkasa Pura I, PT Angkasa Pura II, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (ITDC), PT Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan Ratu Boko (TWC), PT Hotel Indonesia Natour (Inna Hotels & Resorts), dan PT Sarinah.

Pengamat Penerbangan Gatot Raharjo mengatakan, banyak keuntungan yang bisa diraup oleh Garuda dengan menjadi anggota holding. Seperti mendapatkan mendapatkan pasar penerbangan wisata karena kini satu grup dengan BUMN pengelola tempat wisata maupun tempat penginapan.

Selain itu, Gatot juga menilai Garuda bisa meminimalisasi biaya yang menggerus profitabilitasnya, naik biaya operasional penerbangan maupun non-operasional. Keuntungan juga didapat karena secara kelembagaan, namanya ikut terdongkrak karena dianggap menjadi lebih kuat pondasinya.

"Garuda juga bisa diuntungkan dengan penambahan armada yang lebih mudah karena ada kepercayaan dari pihak leasing dan pabrik pesawat. Dengan demikian, Garuda akan bisa lebih berkembang," kata Gatot.

Efek Yusuf Mansur?

Di pihak lain, kerugian yang dialami oleh Garuda pada triwulan III 2020 tampaknya menarik perhatian Ustaz Yusuf Mansur. Ia menyampaikan komentar melalui Instagram pada 7 November 2020 dengan mengunggah tangkapan layar berita Katadata.co.id.

Dalam unggahan itu, Yusuf Mansur mengajak masyarakat untuk beramai-ramai memborong saham Garuda. “Rp 15 triliun (kerugian Garuda), kalau dibagi 10 juta orang kecil banget, cuma Rp 1,5 juta (per orang),” katanya dalam unggahan tersebut.

Dengan melakukan investasi pada Garuda, menurutnya, masyarakat akan merasa bangga dapat ikut memiliki maskapai nasional. Kekuatan investor lokal secara gotong royong di pasar modal itu menurutnya juga telah terjadi pada saham BRI Syariah (BRIS).

“Nanti kita take over semua utang BUMN, hehehe. Bismillah,” kata Yusuf Mansur melalui akun @yusufmansurnew yang punya 2,7 juta pengikut.

Yusuf Mansur mengunggah konten tersebut pada hari Sabtu. Kemudian, saat bursa dibuka Senin, 9 November 2020, harga saham Garuda Indonesia naik 9,09% menjadi Rp 264 per saham.

PESAWAT GARUDA BERGAMBAR MASKER (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww.)

Analis Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas mengatakan, ajakan seperti yang dilakukan oleh Yusuf Mansur yang merupakan tokoh masyarakat, memang bisa jadi mempengaruhi psikologis investor, terutama investor dalam negeri. "Ajakan seperti itu, memang bisa mempengaruhi psikologis investor domestik," katanya.

Apalagi, Sukarno menilai, memang saham Garuda sebenarnya sudah mengalami penurunan, di mana sejak awal tahun terkoreksi 20,88% hingga 20 November 2020. Jika kenaikan harga saham Garuda bulan ini tidak dihitung alias hingga 27 Oktober 2020, sahamnya anjlok 51,81% menjadi Rp 240 per saham.

Sukarno menyarankan untuk pelaku investor untuk melakukan perdagangan beli dengan target harga (target price) di Rp 460 per saham yang artinya harga ini lebih tinggi 16% dari harga saat ini. "Atau jika harga turun, akan lebih bagus dan bisa gunakan strategi buy on weakness," kata Sukarno.

Di sisi yang berbeda, analis Royal Investium Sekuritas Janson Nasrial menilai ajakan Yusuf Mansur tersebut tidak ada hubungannya dengan kenaikan harga saham Garuda sejauh November ini. Menurutnya, saran atau pendapatan yang bisa mempengaruhi investor, berasal dari yang sudah lama berkecimpung di dunia keuangan dan paham kinerja perusahaan. "Jadi menurut saya tidak ada hubungannya juga sih harusnya," kata Janson.

Menurutnya, saham Garuda yang naik ini hanya karena pergerakan secara teknikal saja, tidak ada hubungannya dengan fundamental perusahaan. Sehingga, ia tidak merekomendasikan investor untuk membeli saham Garuda. Bisnis penerbangan di tengah pandemi Covid-19 menurutnya sangat menantang, meski harga minyak turun.

Janson mengatakan, minat masyarakat untuk melakukan perjalan menggunakan transportasi udara saat ini masih sulit untuk kembali normal. Sehingga, berbagai maskapai perlu memiliki strategi bisnis demi bertahan di tengah ekonomi yang lesu.

"Kinerja balance sheet Garuda juga belum ada kemajuan, pasalnya hampir tiap tahun ada rugi ditahan (retained loss). Jadi, setiap tahun akan ada modal disetor terus. Itu kurang sehat namanya," kata Janson.

Reporter: Ihya Ulum Aldin