PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) kalah dalam kasus gugatan pembayaran uang sewa pesawat di Pengadilan Arbitrase Internasional London (LCIA). Dengan putusan tersebut, Garuda wajib membayarkan uang sewa pesawat, kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian sewa pesawat, dan pembayaran bunga keterlambatan kepada penggugat yakni lessor Helice dan Atterisage (Goshawk).
Garuda juga harus membayarkan biaya perkara penggugat. "Terhadap putusan tersebut, Garuda sedang berkoordinasi dengan lawyer yang menangani kasus ini untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh Garuda," kata manajemen Garuda dikutip dari keterbukaan informasi, Rabu (8/9).
Manajemen Garuda memastikan, putusan LCIA tersebut tidak berdampak langsung terhadap kegiatan operasional maskapai nasional tersebut. Seluruh aspek kegiatan operasional penerbangan akan tetap berlangsung dengan normal.
Garuda berkomitmen untuk mengoptimalkan ketersediaan layanan penerbangan yang aman dan nyamandalam memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat maupun pengangkutan kargo bagi sektor perekonomian nasional.
Dalam laporan keuangan periode Juni 2021, Garuda menjelaskan, gugatan ini bermula pada 27 Maret 2020. Helice mengajukan permohonan kepada Pengadilan Belanda untuk melakukan sita jaminan atas dana yang ada pada rekening Garuda di Amsterdam yang telah dikabulkan oleh Pengadilan Belanda.
Helice juga mengajukan gugatan pokok perkara kepada Perusahaan di Pengadilan London. Pada 20 Januari 2021, Pengadilan London mengabulkan eksepsi kompetensi absolut (challenge of jurisdiction) yang diajukan dengan pertimbangan, Pengadilan London tidak berwenang untuk memeriksa gugatan ini. Kewenangan ada di LCIA.
Pada 16 Februari 2021, Helice dan lessor lain yang berada dalam satu manajemen, yaitu Atterissage, mengajukan gugatan arbitrase di LCIA dan memperbaharui permohonan sita jaminan yang pernah diajukan sebelumnya. Sebulan kemudian, Garuda memberikan tanggapan terhadap gugatan dari Helice dan Atterissage tersebut.
Kerugian yang dialami Garuda Indonesia terus membengkak pada semester I 2021. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, rugi bersih maskapai nasional ini mencapai US$ 898,65 juta atau setara Rp 12,82 triliun (Kurs Rp 14.275/ US$) dari sebelumnya US$ 712,72 juta atau setara Rp 10,17 triliun pada enam bulan pertama tahun lalu.
Bengkaknya kerugian Garuda Indonesia pada semester I-2021 ini sejalan dengan total pendapatan usaha yang sebesar US$ 696.8 juta, atau menurun 24,04% dari periode sama tahun lalu US$ 917,28 juta. Omzet Garuda Indonesia mayoritas masih berasal dari penerbangan berjadwal yang totalnya US$ 556,53 juta atau anjlok 25,82% dari US$ 750,25 juta.
Garuda Indonesia mencatatkan total aset mencapai US$ 10,14 miliar per Juni 2021 atau turun dari US$ 10,78 miliar per Desember 2020. Aset itu terdiri dari aset lancar US$ 403,57 juta dan aset tidak lancar yang mencapai US$ 9,71 miliar.
Namun, total liabilitas Garuda Indonesia mencapai US$ 12,96 miliar per Juni 2021 atau naik dari US$ 12,73 miliar per Desember 2020. Liabilitas jangka pendek Garuda Indonesia mencapai US$ 5,05 miliar, sedangkan jangka panjang US$ 7,9 miliar. Lantaran total aset yang lebih kecil dari liabilitas, Garuda Indonesia mencatatkan ekuitas negatif US$ 2,84 miliar per Juni 2021. Sedangkan per Desember 2020, ekuitas Garuda Indonesia juga sudah negatif US$ 1,94 miliar.