Siaga Perdagangan Karbon, OJK: Jika Ada Aba-aba, Kami akan Lari

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi pasar modal
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Lavinda
30/12/2021, 18.27 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan tantangan pasar modal domestik terdekat adalah adopsi ekonomi hijau dan perdagangan karbon. Kendati demikian, Otoritas optimistis siap untuk menjalankan perdagangan karbon di pasar modal dalam negeri saat ini. 

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan pengembangan ekonomi berbasis hijau dan keuangan berkelanjutan menjadi salah satu perhatian di masa pandemi pada 2022. Wimboh menargetkan pasar modal Indonesia harus menjadi pusat perdagangan karbon dunia. 

"Kami (saat ini) stand ready (menjalankan perdagangan karbon). Kapan dikasih aba-aba untuk lari, kami akan lari," katanya dalam Upacara Penutupan Perdagangan Bursa Efek 2021, Kamis (30/12). 

Dalam menerapkan ekonomi hijau, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah meluncurkan beberapa inisiasi, seperti peluncuran surat utang hijau atau green bond, Dana Pertukaran Dagang (Exchange-Traded Fund/ETF) dengan tema Environmental Social Governance (ESG), dan peluncuran tiga indeks hijau, yakni Indeks Saham Sustainable and Responsible Investment (SRI)-KEHATI, Indeks ESG Sector Leaders IDX Kehati, dan Indeks ESG Quality 45 IDX. 

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi mengatakan pihaknya sudah memetakan dan mengidentifikasi jika kredit karbon diperdagangkan. Selain itu, BEI juga telah melakukan studi terkait perdagangan karbon dengan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI). 

"Termasuk kita juga sedang melihat alternatif penyelenggaraan bursa karbon tersebut dalam konteks kelembagaan dan sistem yang di sistem utama," kata Hasan belum lama ini. 

Saat ini, Hasan mengatakan masih menunggu aturan turunan dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 98-2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Aturan turunan itu saat ini sedang digodok di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Seperti diketahui, Indonesia akan mulai mengenakan pajak karbon pada April 2022 terhadap pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan bakar batu bara, dengan tingkat emisi karbon di atas batas yang ditetapkan pemerintah.

Ini akan menjadi langkah pertama Indonesia dalam membentuk pasar karbonnya pada 2025. Tarif pajak karbon Indonesia, yang saat ini hanya Rp 30.000 (US$ 2,11) per ton setara CO2 (CO2e), pada akhirnya akan menyamai harga internasional setelah pasar dapat menentukan harga.

Ada beberapa mekanisme perdagangan karbon yang diatur dalam Perpres No. 98-2021, di antaranya perdagangan antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade, pengimbangan emisi melalui skema carbon offset, pembayaran berbasis kinerja, dan pungutan atas karbon, serta kombinasi dari skema yang ada.

Perdagangan karbon diharapkan akan menjadi insentif untuk pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) untuk pengendalian perubahan iklim. Bukan saja sektor energi yang terpengaruh oleh perdagangan karbon, tetapi juga pada sektor kehutanan.

Reporter: Andi M. Arief